14
Jun
09

Mari Bercermin Sejenak

(1)  K K N  ….  ?  Hayhāta  …  Hayhāta,  No  Way  …  Abadan  !

Segenap anggota klan Banī Makhzūm menjadi sangat resah dan gerah akibat sebuah kasus pencurian yang dilakukan oleh salah seorang wanita dari klan mereka yang ancaman hukumannya adalah potong tangan. Kalau hukuman ini benar-benar sampai dilaksanakan, maka akan merupakan sebuah aib, cela dan nista besar yang akan menjatuhkan martabat serta nama baik klan sebesar dan seterhormat Banī Makhzūm yang merupakan kumpulan dari orang-orang kaya pemilik modal besar dan pengusaha kakap, yang salah seorang tokohnya adalah Al-Mughīroh bin Abdillāh, kakek dari Khōlid bin al-Walīd.

Sebuah keputusan akhirnya diambil dalam sebuah rapat darurat terbatas. Mereka akan mengutus Usāmah bin Zaid, seorang yang mereka kenal amat dekat dengan Rosūlullōh ‘alai-hi ‘s-sholātu wa ‘s-salām untuk memintakan keringanan atau pengecualian hukum pada Rosūlullōh untuk kasus yang satu ini.

Mendengar permintaan “klasik” seperti ini Rosūlullōh langsung menjawab lugas, tegas, tandas dan tuntas begini : “Atasyaffa’u fī haddin min hudūdi ‘lLāh ? Innamā ahlaka ‘l-ladzīna min qobli-kum, inna-hum kānū idzā saroqo fī-himu ‘sy-syarīfu tarokū-hu, wa idzā saroqo fī-himu ‘dh-dho’īfu aqōmū alai-hi ‘l-hadda. Wa aymu ‘lLōhi, lau anna Fāthimata binta Muhammadin saroqot, la-qotho’tu yada-hā / la-qotho’a Muhammadun yada-hā !” ( Apakah pantas aku memberi keringanan pada hukuman yang telah diputuskan oleh Allah ? Ketahuilah, sesungguhnya hancurnya orang-orang yang terdahulu itu akibat ulah mereka yang selalu membebaskan hukuman pencurian yang dilakukan oleh orang-orang besar mereka, akan tetapi tetap melaksanakan hukumannya bila pencurian itu dilakukan oleh orang-orang kecil. Demi Allah, andaikata Fatimah putri Muhammad itu mencuri, pastilah akan aku potong tangannya / pastilah Muhammad akan memotong tangannya ! ). Wow super dahsyat. Ini baru pemimpin yang adil ! Bila ada yang berani mengikuti jejak ini, silakan segera mendaftarkan diri ke KPK. Ditunggu !

(2)  The  other  side  of  ….  Hārūn ar-Rasyīd

Hārūn ar-Rasyīd, sebuah nama yang tidak terlalu asing di telinga setiap orang. Banyak diantara kita mengenalnya sebagai khalifah kelima dari dinasti Abbasiyyah yang pada masa ke-khilafahan-nyalah, Islam mencapai salah satu puncak kejayaannya terutama di bidang ilmu pengetahuan. Tidak sedikit juga yang menganggapnya sebagai sosok khalifah yang memiliki “gaya” dalam kehidupan keduniaannya. Tapi banyak sekali dari kita yang tidak tahu, bahwa – di luar semua itu – beliau adalah tetap sebagai seorang anak manusia yang tidak pernah lupa pada pemenuhan sisi dahaga kerohanian dirinya. Karena itu beliau sangat sering meminta nasihat spiritual dari orang-orang sholeh yang berada di sekelilingnya. Berikut adalah salah satunya …… the other side of Hārūn ar-Rasyīd.

“ ’Izh-ni, ayyuha ‘sy-syaikh !“ ( Tolong nasihati hamba, wahai tuan guru ! ), katanya suatu hari. Yā Hārūn, law dāmat li-ghoiri-ka, mā washolat-ka ! ( Wahai Harun, andaikata sebuah kekuasaan itu bisa abadi di tangan seseorang, tentu kekuasaan itu tidak berada di tanganmu sekarang  ! ). “Zid-ni, ayyuha ‘sy-syaikh !“ ( Tambahkan lagi, wahai guru ), pinta sang khalifah. Orang sholeh itupun melanjutkan : Yā Hārūn, til-ka qushūru-hum, wa hādzi-hi qubūru-hum ! ( Tengok wahai Harun, itu disana adalah istana-istana megah yang pernah mereka tempati dulu, dan di sebelah sini itu adalah kubur-kubur sepi yang kini harus mereka huni ),Kafā bi ‘l-mauti wā’izhō !“ ( Jadikanlah kematian itu sebagai satu-satunya nasihat yang paling ampuh ). Mendengar nasihat ini sang khalifahpun menangis tersedu sejadi-jadinya sehingga jenggotnya basah oleh kucuran deras air matanya.

“Ayyuha ‘sy-syaikh, a ‘alai-ka dainun fa-naqdhī-hi ‘anka ! ( Maaf tuan guru, apakah barangkali tuan guru memiliki hutang, biar izinkan kami yang akan melunasinya ! ), Harun mencoba menawarkan bantuan kepada tuan syeikh sebagai tanda terima kasihnya atas semua nasihat beliau, yang dijawab : “Yaqdhī-hi ‘annī man huwa aqdaru ‘alā qodhō-i-hi min-ka ! ( Hutang-hutangku andai katapun ada, akan dilunasi oleh Dia yang lebih mampu melunasinya dari pada kamu ). Lalu Harun mencoba lagi tawaran lain, katanya : “Fa-khudz min mālī mā yakfī-ka rizqon la-ka wa li-‘iyāli-ka ! ( Begini saja, ambil dari hartaku seberapapun kau butuh untuk keperluan hidupmu dan sanak keluargamu ! ). Mendengar tawaran istimewa Harun ini sang syeikh cuma tersenyum saja, lalu berkata : Waiha-ka yā Hārūn, a tazhunnu anna ‘lloha yarzuqu-ka wa yansā-nī ?!“ ( Jangan keterlaluan begitu wahai Harun, apakah kau kira Alloh itu memberi rizki hanya untukmu saja dan melupakanku, begitu ?! ). Harunpun terdiam seribu bahasa. Oh … andaikata di zamanku ini ada seribu Harun dan seribu Syeikh saja yang seperti ini …, oh betapa ……… !  Betapa apa ? Entahlah !

(3)  Dua  nabi  yang  raja  …  yang  pandai  ber-SYUKUR

Nabi Daud ‘alai-hi ‘s-salām, pernah merasa belum sempurna dan tuntas dalam mengungkapkan rasa syukurnya kepada Allah jalla wa ‘alā atas segala ni’mat yang beliau terima sebagai seorang nabi sekaligus seorang raja yang amat kaya, perkasa dan berkuasa. Suatu ketika beliau sempat bermunajat : “Yā Robb, fa-arinī akhfā ni’ami-ka ‘alayya. Qōla : yā Dāwūda, tanaffas. Fa-tanaffasa Dāwūdu, fa-qōla ta’āla : man yuhshī hādzi-hi ‘n-ni’mata al-laila an-nahāro ?” ( Wahai Tuhan, tunjukkanlah ni’mat-Mu yang paling tersembunyi yang telah Engkau berikan kepadaku yang mungkin tak pernah kusadari dan belum sempat kusyukuri sepantasnya. Allah bertitah : wahai Daud, tariklah nafasmu. Daudpun melakukannya, lalu Allah bertanya : siapakah – selama ini – yang sempat menghitung besarnya ni’mat ( bernafas ) ini sehari semalam, lalu mensyukurinya ? ). Daudpun terhenyak diam karena malu. Dan mestinya kita …… juga, kan ?

Lalu, Sulaiman ‘alai-hi ‘s-salām putra Daud yang juga seorang nabi dan raja yang amat berkuasa dan menguasai dunia jin, kekuatan angin dan bahasa binatang itu, diriwayatkan bahwa beliau selalu makan sya’īr ( gandum murah ) setiap hari dan tidak pernah sampai kenyang. Untuk keluarganya sendiri, beliau beri makan khusykār ( tepung jagung kasar ), sedang untuk para dhu’āfa’ dan orang-orang miskin yang tinggal dan berada di sekelilingnya selalu beliau beri makan darmak ( tepung putih halus ). Semua hal “aneh” ini membuat para pembantu dan orang-orang dekat Sulaiman jadi bertanya-tanya mengapa beliau melakukan ini semua, padahal beliau adalah seorang raja yang juga nabi. Sulaimanpun menjawab : “Akhōfu in syabi‘tu … an ansa ‘l-jiyā‘ ! ( Aku cuma khawatir, bila aku selalu kenyang … aku jadi lupa pada orang-orang lapar yang tak bisa makan karena kepapaannya ). Oh … andaikata orang-orang yang seperti Sulaiman dan Daud ‘alai-hima ‘s-salām ini masih bisa kutemukan di kampungku. Oh betapa ………… !  Betapa apa ? Entahlah !

14
Jun
09

Senyum dari Madrasah

(13)   Ada   “ setan ” dari   “ karet “ di  …  roda ?

“Daripada ngapalinmahfūzhōt mendingan juga ngumpulin mahfazhōt”, omel si Salim dalam hati selepas mengumpulkan hasil ulangan tertulis “mahfūzhōt”-nya di meja guru. Dari dahulu, dia memang sangat tidak suka dengan semua pelajaran yang berbentuk hafalan, makanya iapun langsung melampiaskan kekesalannya tentang ulangan hari ini lewat omelan tadi.

Pada kesempatan pelajaran “mahfūzhōt berikutnya, ia dipanggil guru ke depan kelas dan mendapat marah. Apa pasal ? Selain nilainya “jeblok” iapun dimarahi karena menuliskan “omelan” kesalnya di lembar jawaban ulangannya itu. Disamping itu sang guru juga merasa dilecehkan karena jawaban-jawaban yang dibuat Salim sudah termasuk kategori “mempermainkan” pelajaran sekaligus guru yang mengajarnya. “Salah satu contohnya adalah : soal isian nomor 7 yang berbunyiAl-‘ajalatu min al-……. “. Jawaban yang benar seharusnya adalah “mina ‘s-syaithōn”, tetapi kamu mengisinya dengan jawaban “mina ‘l-maththōt”, jadi apa maksudmu dengan semua ini, Salim ?!”, hardik sang guru dengan agak marah.

Dengan entengnya si Salim menjawab begini : “Pak, apa yang salah dengan jawaban “al-‘ajalatu mina ‘l-maththōt” ( roda / ban itu terbuat dari karet ), roda / ban memang terbuat dari karet kan pak ?”. “Iya, betul, tetapi al-‘ajalatudisini artinya adalah terburu-buru, bukannya roda atau ban, Salim !, dan arti lengkap pribahasa itu adalah :Terburu-buru adalah salah satu sifat setan”. Lalu apa pula hubungannya antara mahfūzhōt dengan mahfazhōt ?”. Salim sebenarnya sudah tidak mau menjawab lagi, tetapi karena takut iapun menjawabnya juga : “Kan menghafalkan mahfūzhōt itu bikin otak kita jadi pusing … pak, lebih baik mengumpulkan mahfazhōt ( dompet ) sajalah !”. Tapi ngomong-ngomong ngumpulin dompet itu maksudnya apa ya ?  Koleksi dompet atau Korek isi dompet orang ya ? Au .. ah, gelap !  


(14)   Pelajaran “ at-tash-rīf ” yang  serasa  …  cokelat.

Masih ingat atau pernah dengar tentang pelajaran “at-tash-rīf yang diajarkan di madrasah-madrasah model lama ?. Itu lho, ( di kita hanya terbatas pada ) pembahasan mengenai pengubahan fi’l ( kata kerja ) sesuai dengan subjeknya yang berupa dhomīr/dhomā-ir ( kata ganti seperti huwa s/d nahnu ). Sebuah pelajaran yang amat membosankan dan tidak pernah di-link and match-kan dengan pelajaran-pelajaran bahasa arab lainnya.

Tapi aku malah seneng lho belajar tash-rīf, karena romantis !”, kata Hadi suatu kali pada teman sekelasnya, Komar. “Romantis dari Hongkong ?”, tukas lawan bicaranya. “Eeh … nggak percayaan ya kalo dibilangin, ini contohnya : Fi’l mādhi  “kataba” ( menulis ) kalo di-tash-rīf-in kan begini : huwa kataba, humā katabā, hum katabū, hiya ke tebet … “.  “Stop … stop ! Ngaco aja kamu. Mana ada bahasa arab hiya ke tebet, yang ada juga hiya katabat. Tunggu … aku ingat sekarang, pasti hiya ( dia ) disitu maksud kamu adalah si Nurul ya, yang sering main ke Tebet, ke rumah uwa’nya yang tetanggaan dengan rumahmu, iya … kan ?, dasar playboy !”. “Itulah romantisnya belajar tash-rīf. Ngiri … ya kamu ?. Memang agak aneh juga ya, tetapi begitulah. Malah menurut Gombloh yang penyanyi sekaligus pengarang lagu itu : “Bila cinta sudah melekat, pelajaran tash-rīf-pun serasa cokelat”.

(15)   Tak  boleh  ada  dusta dalam  pelajaran “ at-tash-rīf ”.

Lain lagi ceritanya dengan Halimah ( namanya seperti jenis virus ya : H5h ). Siswi gembul yang senang nongkrong di kantin ini paling tidak suka dengan pelajaran tash-rīf ( juga pelajaran-pelajaran yang lainnya ) kecuali seni suara dan pkk yang ada praktek masaknya.      

Suatu hari saat pelajaran tash-rīf berlangsung, tokoh kita ini mendapat giliran untuk men-tash-rīf-kan sebuah fi’l mādhi yang boleh ia pilih sendiri fi’l-nya. Maka pilihannyapun jatuh pada “akala” ( makan ) sebagai fi’l favoritnya. Lalu diapun mulai melantunkan senandungnya dengan lantang : Huwa akala, humā akalā, hum akalū, hiya akalat, humā akalatā, hunna akalna … dst. Tetapi ketika sampai pada bagian sebelum akhir yaitu pada dhomir “anā”, ia berhenti, terdiam dan diam terus. Sang gurupun lantas bertanya mengapa ia berhenti, dan dengan entengnya teman kita ini menjawab : “Pak, berbohong itu kan dosa ya ?, dan aku paling tidak suka berbohong”. “Iya benar, lalu apa hubungannya dengan tash-rīf-mu ini ?, sang guru balik bertanya. “Pak, anā akaltu itu artinya kan : aku (sudah) makan, lalu kalau aku ucapkan kalimat tersebut …  itu sama saja aku berbohong. Sungguh mati pak, dari pagi aku belum makan kecuali cuma sarapan nasi uduk doang !”. Seisi kelaspun riuh dengan gelak dan tawa, kecuali kawan kita ini. Ia mendapat hukuman dengan harus menulis kalimat “Akal-tu ‘s-samakata hattā ro’sihā” ( Aku makan ikan itu sampai bagian kepalanya ) sepapan tulis penuh. Yā bint, dzambak ‘alā bathnak eh … ‘alā gambak ba-ā. But it doesn’t matter …, you’re so amazing, gal !


(16)   “ Fi’l ” terpendek  di  dunia ini  bisa  masuk  MURI  ‘nggak  ya ?

Dua siswa terbaik dari kelas 3 sebuah ponpes yang mulai “modern” ( karena siswa-siswinya diwajibkan berkomunikasi harian hanya dengan bahasa arab dan inggris tok ) terlibat dalam pertarungan dwi bahasa berbentuk tebak-tebakan iseng tak bertajuk. Kadir yang mengaku sebagai Cat Steven ( Yusuf Islam ) dari Bangkalan mewakili zona English, sedang Zulham yang mengaku sebagai ‘Amr Diyab dari Solok mewakili zona Arabic.

Berdasarkan suwitan ( undian jari ), Kadir yang memulai terlebih dahulu. “Cak ham-Zulham, coba cari sebuah kata dalam bahasa inggris, yang antara huruf pertama dan huruf terakhirnya ada … 1 mil !. Hayo, maté sampeyan !” tantang si Kadir dengan logat “British”-nya yang medok. “Mana ada kata yang lebih dari 1 mil, paning bana ambo ni”, fikir si Zulham dalam hati. Beberapa menit berlalu tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Dan bersamaan dengan mulai menetesnya keringat dingin serta berakhirnya hitungan kedelapan, Zulham-pun melempar handuk putihnya tanda menyerah. “Jawabannya adalah ……. sMILe. Coba cermati, bukankah antara huruf pertamanya (s)  dan huruf terakhirnya (e) ada … 1 (mil), tak iye ?”, ujar Kadir penuh bangga. Zulham-pun manggut-manggut puas, dan tanpa sungkan iapun mengangkat tangan kanan Kadir tinggi-tinggi dengan penuh sportivitas.

Kini giliran Zulham berlaga. “Ayo uda Kadir, tunjukkan sebuah fi’l ( verb/kata kerja ) yang paling pendek dari bahasa asing apa saja !”. Tak sampai satu menit, Kadir-pun menjawabnya dalam dua bahasa sekaligus dengan keyakinan penuh :Go ( pergilah ) dan qif ( berhentilah )”. “Keduanya masih salah uda, karena go dan qif itu kan masing-masing terdiri dari dua huruf. Masih ada yang lebih pendek lagi kok !”, ujar Zulham. Malu tak malu dan mau tak mau karena tidak juga menemukan jawabannya, akhirnya Kadir-pun memukul matras tiga kali sebagai tanda menyerah. “Jawabannya adalah qi ( lindungilah ) dan ro ( lihatlah ). Bukankah masing-masing fi’l itu hanya terdiri dari satu huruf yaitu (qōf) dan (rō’) !”, tandas Zulham penuh kemenangan. “Masa lupa sich, kan tiap hari selalu kita baca dalam do’a sapu jagat ini :  …. wa qi-nā ‘adzāba ‘n-nār !. Qi adalah fi’l amr dari fi’l tsulātsī mujarrod “waqō” dari kelompok lafīf mafrūq atau multawī, sedangkan ro dari fi’l “ro-ā” yang berasal dari spesies mahmūzh ‘ain/nāqish lām. Sudah ah … capek !” Zulham menambahkan. Wow … mumtāz !, jangan-jangan Zulham ini pernah di Thowalib dan jadi calon penerusnya buya Mahmud Yunus atau buya Hamka nih !?.

(17)   “Pandangan”  pertama  …  saat  kita  berjumpa  !.

Lima orang santri-wan remaja yang sedang asyik menikmati libur akhir tahun mereka di kampung, entah bagaimana mulanya tiba-tiba saja sudah terlibat dalam sebuah obrolan serius tentang masalah cinta.

“Kalian masih pada ingat ‘nggak dengan ungkapan bahasa arab ini : Nazhrotun, fa-‘btisāmatun, fa-salāmun, fa-kalāmun, fa-mau’idun, fa-liqō-un … ( saling pandang, lalu saling tersenyum, lalu saling tegur sapa, lalu ngobrol, lalu bikin janji, lalu ketemuan … ) ?, katanya merupakan proses awal bagaimana dua orang sampai bisa jatuh cinta, tapi aku kok nggak sepenuhnya setuju”, kata Asep, sang tuan rumah. “Kenapa ? kan memang begitu adanya. Coba dengar pantun ini : Dari mana datangnya lintah … dari sawah turun ke kali, dari mana datangnya cinta … dari mata turun ke hati”, timpal si Baim. “Itu dia. Lagi-lagi dimulai dari mata. Lalu bagaimana dengan saudara-saudara kita yang tuna netra ?, sanggah Asep agak trenyuh sehingga yang lainnya jadi ikut terdiam.

“Ok. Kita tinggalkan dulu soal tuna netra ini. Aku mau nambahin ungkapan Asep tadi dengan yang lagi nge-trend akhir-akhir ini, yaitu … fa-‘ttifāqun, fa-khithbatun, fa-zawājun, fa-haflatun, fa-syahru ‘asalin, fa-‘khtilāfun, fa-‘ftirōqun, fa-tahākumun, fa-tholāqun … ( lalu saling cocok, lalu lamaran, lalu menikah, lalu pesta, lalu berbulan madu, lalu bertengkar seru, lalu pisah-rumah, lalu ke pengadilan, lalu … cerai ) iya kan ? kaya para seleb di negeri ini”, kata Jamil sok kritis. Ketika diskusi mereka semakin seru, tiba-tiba seorang pengemis buta muncul dan langsung lenyap setelah menerima shodaqoh. “Itu lihat pengemis buta tadi, meski tidak mempunyai nazhroh ( daya lihat ), tetapi kan masih memiliki bashīroh ( mata hati ), jadi dia masih bisa berkegiatan normal seperti yang lainnya”, si Jamil kembali nyeletuk. “Tetapi yang masih aku ‘nggak mengerti adalah bagimana proses jatuh cintanya mereka ?” kejar si Asep masih penasaran. “Gini … Asep nu kasep, tolong disimak baik-baik ya kata-kata bijak ini : Al-lisānu yanfudzu mā lā tanfudzu-hu ‘l-ibrotu ( lidah/kata-kata itu mampu menembus sesuatu yang tak sanggup ditembus oleh tajamnya jarum, yaitu hati ), artinya senjata para tuna netra itu adalah kata-kata, plus perasaan plus penciuman, faham ?. Tapi ngomong-ngomong kenapa sih Sep, manéh téh ( kamu ini ) peduli amat pada problema kaum tuna netra, jangan-jangan aya naon-naon na yeuh ( ada apa-apanya nih )… ?”, sela Ikin Sodikin penuh curiga. Sang pemikir yang sedari tadi hanya diam saja ini akhirnya ikut buka suara juga.

“Masa kalian pada lupa sih, waktu di kereta tempo hari … si Asep kan beberapa kali mencoba menegur seorang cewek manis – yang duduk di seberang kiri deret kursi kita – dengan cara mengerdipkan mata, tetapi si ‘cah ayu itu kok hanya meneng ae ( diam seribu basa saja ) sehingga membuat Asep semakin penasaran. Ironisnya kita baru tahu kalau ternyata si gadis itu buta ketika ia turun di stasiun Balapan, Solo. Ingat nggak ?” jelas si Iwan membuka rahasia. Oooh … pantas saja !. Rupanya pemeo Love is blind ( Cinta itu buta ) itu memang benar-benar ada ya, dan buta ( raksasa )-nya telah memangsa si Asep yang kemudian terkena sindrom Falling in love at first sight ( Jatuh cinta pada “pandangan” pertama ) lalu hatinya terseret dan terdampar sesat di stasiun Balapan ?. Jadi nasibnya sama dong dengan mas Didi “Cucak Rowo” Kempot yang juga punya kisah sedih di stasiun  yang sama ?!. Aduh … kasihan dech … lu !

29
Apr
09

engkau … temanku atau saudaraku ?

(1)  “Saudaraku”  dilahirkan  bukan  oleh  ibuku  ?

Hidup ini memang bagaikan sebuah panggung sandiwara seperti lantunan lagunya Iye’ God Bless. Ada yang terlahir dengan memiliki sekian banyak saudara, adapula yang terlahir tanpa seorang saudarapun.

Tetapi kemudian, kisah di panggung bisa bercerita lain. Ada yang telah memiliki sekian saudara dan mestinya berbahagia malah menyesal mengapa ia harus memiliki saudara. Adapula yang kebetulan tidak mempunyai seorang saudarapun malah sangat berbahagia lantaran “menemukan” saudara-saudara yang bahkan mungkin melebihi saudara sendiri.

Barangkali mungkin itu yang diisyaratkan oleh kata-kata bijak ( wise words ) berikut ini :  “ Rubba  akhin lam  talid-hu  ummuka ( wālidatun ) ” ( Banyak sakali saudara yang tidak pernah terlahir dari rahim ibumu ). Tetapi meski begitu, saudara adalah tetap saja saudara walaupun terbatasi oleh watak, perangai dan perilaku yang berbeda. Bahkan al-Qur’an malah memperluas jangkauan arti persaudaraan ini dengan catatan kesamaan iman. Tengok surah al-Hujurāt (49) ayat ke 10 : “Innamā ‘l-mu’minūna ikhwah …..”, yang ditambahkan oleh as-Sunnah dengan kesamaan agama, “Al-muslimu akhū ‘l-muslim …..”.

(2)  Mau   “makanan”,  “obat”   atau   “penyakit”  ?

Memiliki saudara adalah sebuah ni’mat ilāhiyah. Meski tidak semua saudara bakal selalu seia sekata dengan saudaranya yang lain. Rambut boleh sama hitam, kita boleh berasal dari rahim yang sama, tetapi yang lainnya …, ya lain lagi ceritanya. Inilah sebabnya mengapa kita kemudian dikaruniai akal, lalu diberi hiasan iman dengan tambahan aksesori berupa ihsan, agar kita dapat bersikap bijak dalam menghadapi kehidupan ini yang tidak selamanya mau berpihak kepada kita, begitu pula dalam kehidupan bersaudara. Kenalilah saudara kita, tetapi yang lebih penting lagi adalah kenalilah diri kita sendiri terlebih dahulu. Untuk itu simaklah catatan dibawah ini yang mungkin dapat membantu :

Al-ikhwānu tsalāsah  :

akhun  ka ‘l-ghidzā’   …   tahtāju  ilai-hi  dā-iman, wa …

akhun  ka ‘d-dawā’    …   tahtāju  ilai-hi  ahyānan, wa …

akhun  ka ‘d-’         …   lā tahtāju  ilai-hi  abadan. artinya

Saudara itu ada tiga macam :

bagaikan makanan,  yang  … selalu kita butuhkan, atau …

bagaikan obat,  yang  ……….. kadang-kadang saja kita butuhkan, atau

bagaikan penyakit,  yang  ….  sama sekali tidak kita butuhkan.

Catatan :

Kata “akh” yang berarti “saudara” memiliki banyak bentuk jam’ ( plural ). Dua yang paling populer adalah “ikhwah” dan “ikhwān” yang memiliki arti yang tetap sama tetapi berbeda dalam konotasi. Kata “ikhwah” digunakan untuk arti “saudara” yang dihubungkan oleh garis keturunan, sedangkan kata “ikhwān” dipakai untuk arti “saudara” yang tercipta karena persahabatan dan pertemanan. ( Lihat kamus al-Munjid fi ‘l-lughoh, Louis Ma’louf, Beirut. Halaman 5 ).

25
Apr
09

Bola mata kekasih di mata Duo Farouk

(1)  “ Bening  kedua  bola  matamu “  ….  di  mata  “ Duo – Farouk “

Ada dua sosok Farouk yang dimiliki Mesir sebagai penyair kontemporer terkenalnya. Salah satunya adalah Farouk Shousha yang juga pengasuh acara budaya “Lughotunā ‘l-jamīlah” di saluran tv nasional, dan yang satunya lagi adalah Farouk Guweida.

Kita akan coba melirik pandangan keduanya dalam menggambarkan makna “dua bola mata” dari gadis impiannya masing-masing dari sajak-sajak yang mereka tulis.

Dalam sajak “Fī ‘ainai-ki … ‘unwānī“ yang juga menjadi judul kumpulan puisinya (1979), Farouk Guweida bertutur begini :

. . . . . . . . . . . .

Wa  lau  khuyyir-tu  fī  wathonin

la-qultu  hawā-ki  authōnī

wa  lau  ansā-ki  yā  ‘umrī

hanāyā  qolbī  …  tansā-nī

idzā  mā  dhi‘-tu  fī  darbin

fa-fī  ‘ainai-ki  ‘unwānī

Andai aku boleh memilih sebuah tanah air  …

maka cintamulah yang jadi tanah airku

andaipun aku dapat melupakanmu, sayang  …

maka seantero jiwakupun pasti akan melupakanku

andai di suatu tempat aku tersesat  …

maka di kedua bola matamu kan kutemukan alamatku

Sedang dalam kumpulan puisinya “Lu’lu-atun  fī ‘l-qolb“ (1978), pada sajaknya yang bertajuk “Sami‘tu  ‘ainai-ki“, Farouk Shousha menulis seperti ini :

Sami‘tu  ‘ainai-ki … wa  mā  qōlatā

sami‘tu  kulla ‘l-hamsi  kholfa  ‘l-jufūn

wa  ‘rta‘asyat  kaffāya  fī  lamsatin

auda‘tu-hā  hubbī  wa  sirrī  ‘d-dafīn

aiqozh-ti  fī  nafsī  dabība  ‘l-munā

asy‘al-ti  fī  qolbī  nidā-a  ‘l-hanīn

ainā-ki  …  lam  asyhad  siwā  marfa-in

tarsū  ‘alai-hi  sufunu  ‘l-mut‘abīn

Kudengar seluruh tutur kedua bola matamu

kudengar pula setiap bisik di balik kelopaknya

kedua tangankupun bergetar oleh sentuhannya  …

dan kusimpan dalam cintaku yang lama terkubur

kau bangkitkan kembali semua harapku   …

dan nyalakan lagi panggilan kerinduan dalam hati ini

kedua bola matamu adalah dermaga

tempat berlabuhnya bahtera mereka yang letih mencari.

Bahkan seorang Ismail Marzuki sempat merekam bagaimana seorang gadis paramedis “kesemsem” pada sesosok pemuda pejuang hanya dengan menatap sepasang mata bola-nya dari balik jendela kereta. Ini beliau gambarkan dalam lirik lagu Sepasang mata bola yang bernuansa perjuangan “tempo deloe” :

Sepasang mata bola

dari balik jendela

datang dari Jakarta  …

‘nuju medan perwira

kagum ku melihatnya  …

sinar nan perwira rela

hati telah terpikat  …

semoga kelak kita berjumpa pula

Wow … romantis abiiis ya. Tapi kita harus berhati-hati dengan yang namanya mata ini, apakah itu mata kita sendiri ataupun mata orang lain. Meskipun cuma sepasang, ia bagaikan sebatang anak panah beracun yang sangat berbisa dan berbahaya. Iiih … takut ?!

17
Mar
09

uq’uduu … yaa hadhrot al-habaaib

(4)  “ Habā-ib ” (?)  dalam  bejibunnya  bentuk-bentuk  “ jam’u ‘t-taksīr ”

Dalam pembelajaran bab “jam’u ‘t-taksīr” yang lumayan banyak macamnya itu, ketika sampai pada pembahasan wazn “fa-’ā-il”, kamipun diberikan bermacam-macam contohnya, seperti : ro-sā-il ( dari bentuk mufrod risālah ), sho-hā-if ( dari bentuk mufrod shohīfah ) dan ‘a-jā-iz ( dari bentuk mufrod ‘ajūz / perempuan tua ). Lalu sang pengajar bertanya tentang bentuk mufrod dari kata-kata “habā-ib” yang dengan entengnya dijawab oleh para murid dalam sebuah koor yang amat kompak : “habīb” !. Dan sang gurupun manggut-manggut bahagia tanda setuju. Is it all and so simple ? Kayaknya perlu tadqīq dan tahqīq nih ?

Dalam kitabnya “Al-Faishol fī Alwāni ‘l-Jumū’“ ( Dāru ‘l-Ma’ārif, Mesir ) pada halaman 79-82 ( al-binā’ ats-tsāmin ‘asyar : fa-’ā-il ), halaman 123 ( jam’u ‘l-muannats minhu bi ‘l-alifi wa ‘t-tā’, wa ‘alā fa-’ā-il )  dan pada halaman 165-168 ( fashl fī asmā’ lā tukassar illa ‘alā fa-’ā-il ), sang pengarang, ‘Abbās abu ‘s-Sa’ūd dengan rujukan kitab-kitab : Alfiyah, Syarh al-Mufash-shol, Syarh Ibn Ya’īsy dll. ada mengupas secara tuntas pembahasan wazn “fa-’ā-il” ini yang ringkasannya sebagai berikut :

Wazn “fa-’ā-il” dipakai sebagai patokan/pola/model untuk bentuk jam’u ‘t-taksīr yang berasal dari setiap bentuk mufrod berikut ini dengan syarat dan ketentuan khusus, yaitu :

1. Rubā’ī ( terdiri dari empat huruf ) yang huruf ketiganya adalah huruf MAD,

2. MUANNATS,

3. bisa berakhiran dengan huruf HĀ’ ( tā’ ) marbūthoh dengan lima wazn/pola, seperti :

a. fa-‘ā-laH contohnya   : sya-hā-daH, jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : sya-hā-id

b. fi-‘ā-laH contohnya   : ri-sā-laH,       jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : ro-sā-il

c. fu-‘ā-laH contohnya   : qu-lā-maH, jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : qo-lā-im ( potongan )

d. fa-‘ū-laH contohnya   : ha-mū-laH, jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : ha-mā-il ( unta hamil )

e. fa-‘ī-laH contohnya   : ‘a-qī-daH, jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : ‘a-qō-id.

4. bisa TIDAK berakhiran dengan huruf HĀ’ ( tā’ ) marbūthoh dengan lima wazn/pola, seperti :

a. fi-‘ā-l contohnya   : syi-nā-th,       jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : sya-nā-ith ( perempuan mulus )

b. fa-‘ā-l contohnya   : sya-mā-l, jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : sya-mā-il ( angin dari utara )

c. fu-‘ā-l contohnya   : ‘u-qō-b, jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : ‘a-qō-ib ( burung buas )

d. fa-‘ū-l contohnya   : ‘a-jū-z, jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : ‘a-jā-iz ( perempuan tua )

e. fa-‘ī-l contohnya   : sa-‘ī-d, jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : sa-‘ā-id ( nama perempuan )

( Kelompok ini tetap dipersyaratkan harus berbentuk MUANNATS TA’NĪTSAN  MA’NAWIYYA )

Kesimpulan :

1.  jadi, dengan syarat nomor 2 atau nomor 4 saja ( yang mengharuskan bentuk MUANNATS ), maka kata-kata “habāib” yang ‘alā wazn “fa-’ā-il ” itu adalah tidak mungkin merupakan  jam’u ‘t-taksīr dari kata-kata “habīb”, karena lafzh “habīb” jelas-jelas adalah MUDZAKKAR.

2.  bila mencari dalam kamus-kamus besarpun kita baru dapat menemukan kata-kata “habāib” pada bentuk jam’ dari entri kata “habībaH” yang MUANNATS ( syarat nomor 3.e. diatas terpenuhi ).

3.  sedang bentuk jam’ dari entri kata “habīb” yang kita temukan di kamus-kamus tadi adalah : ahibbā’, ahibbah, dan ahbāb, serupa dengan kata-kata syadīd, kholīl, thobīb, ‘azīz, dan jalīl ( kesemuanya adalah  mudho’’af ) yang bentuk jam’-nya adalah : asyiddā’ ( surah al-Fath : 29 ) , akhillā’ ( surah az-Zukhruf : 67 ), athibbā’, a’izzā’, dan ajillā’. ( lihat buku al-Faishol fī Alwāni ‘l-Jumū’ diatas pada halaman 74 dalam pembahasan al-binā’ as-sādis ‘asyar : af-‘i-lā’)

Ketika sedang mumet-mumetnya menyusun tulisan ini, tiba-tiba terdengar alunan merdu suara Farīd al-Athrosy, penyanyi Mesir asal Libanon yang mendendangkan sebuah lagu lawas bertajuk : habāibi yā ghōibīn”. Hal ini mengingatkan saya pada sepotong kata yang sama berbunyi “… l-ajli ‘l-habāib dari lagu “Wahasy-tūnī” yang biasa dilantunkan oleh biduan terkenal Mesir asal Aljazair, Wardah al-Jazāiriyah. Dalam  kedua lagu ( dalam logat ‘amiyah masriyah ) tadi terdapat kata-kata habāib yang berarti para kekasih ( baik laki-laki maupun perempuan ). Maka hati inipun jadi tenang dan riang lagi deh.  Oh … yā habāibi, wahasy-tūnī  ‘awi, law aghommad wa afattah, lā’īkum gāiyīn, gāiyīn.

(5)  “ Duduklah … ! “  bahasa  arabnya  apa  ya  ?,  “ uq’ud ! ”  atau  “ ijlis ! ”  ?

Jika pertanyaan diatas yang menjadi judul tulisan ini harus diladeni, maka jawaban bareng kita pasti kompak seperti ini : “Kedua-duanya benar !”, karena kata-kata “uq’ud” merupakan fi’l amr ( bentuk imperatif / perintah ) dari qo’ada , qu’ūd dan begitu juga halnya dengan kata-kata “ijlis” dari jalasa , julūs yang kedua-duanya berarti “duduk”. The answer is absolutely … right, kan ?  Kita …, gitu loh !

Shobron ya ikhwah !. Tetapi ada juga lho yang menjawabnya begini : “Ya …, tergantung lah !”. Lho kok ? Menurut orang ini, ‘Ali ‘bnu Bāli al-Qosthonthīni dalam bukunya “Khoiru ‘l-Kalām fi ‘t-Taqosh-shi ‘an Aghlāthi ‘l-‘Awām“ ( Dār ar-Risālah, Beirut, 1983 ) bahwa perintah  “uq’ud” khusus ditujukan untuk orang yang sedang berdiri agar duduk. Sedangkan perintah “ijlis” hanya diberikan untuk orang yang sedang berbaring ( atau yang berposisi mirip itu ) agar duduk. “Fa inna ‘l qu’ūda : al-intiqōlu min ‘uluww ilā sufl, wa ‘l-julūsa bi ‘l-‘aks” katanya, yang artinya : “Karena kata-kata qu’ūd mengandung arti perpindahan dari posisi atas ke posisi bawah, sedangkan kata-kata “julūs” merupakan kebalikannya. Jadi, berbeda kan ? Ya beda baaanget. OK, kalo gitu … please Sit down deh, eeeh … Take a seat lah !

17
Mar
09

berbahasa sambil tersenyum

(1)  antara  “petani”   dan    “tikus  yang  numpang  lewat”

 

         alkisah, suatu hari seorang pengawas pendidikan sedang mengadakan sidak ( inspeksi mendadak ) ke sebuah sd di pinggiran kota cairo. sang penilik secara acak langsung masuk ke ruang kelas 4 yang kebetulan sedang belajar bahasa inggris.

 

         setelah sedikit basa-basi, beliaupun mengajukan beberapa pertanyaan berupa test kosa-kata dasar bahasa inggris kepada para murid. “bahasa inggrisnya mudarris ( guru ) apa ?” tanyanya yang langsung dijawab oleh murid yang duduk paling depan : “teacher !”. “good !” kata si penilik. dan setelah mengajukan kira-kira 5 buah pertanyaan yang kesemuanya dijawab dengan cermat dan benar oleh para murid, akhirnya sang penilik memberikan pertanyaan pamungkasnya : “apa bahasa inggrisnya fallāh ( petani ) ?”.  seisi kelas terdiam, tak ada yang dapat menjawab. beberapa menit berlalu terasa sangat lambat, pak gurupun mulai gelisah dan meneteskan keringat dingin. tetapi tiba-tiba, seorang siswi tambun yang duduk di baris paling belakang mengangkat tangannya sambil berteriak keras : “fa’r  marr !”. “ahsant ! ( bagus )” kata si penilik yang merasa mendengar kata “farmer” diucapkan dan langsung menyalami sang guru seraya memujinya. seisi kelaspun sontak gembira meski agak sedikit bingung dengan kejeniusan si gendut yang tiba-tiba itu.

 

         usut punya usut, rupanya si jenius ( yang sebenarnya agak o’on itu ) ketika meneriakkan kata fa’r marr  sambil mengangkat tangannya bukan untuk menjawab pertanyaan sang penilik, melainkan lantaran saking terkejutnya melihat seekor tikus yang melintas di langit-langit bagian atas papan tulis, ia secara spontan menunjuk ke arah atas sambil meneriakkan kata-kata tadi. maksudnya adalah “ada tikus (fa’r) melintas (marr)“. kedengarannya memang seperti lafal “farmer” kan  ya ?  wéléh wéléh ! bravo gal ! sebuah blessing in disguise kayaknya !.

 

(2)  horree    aku  dapat  kenaikan  pangkat  istimewa  !

 

         orang mesir memang terkenal kepandaiannya dalam “ber-mujāmalah” atau berbasa-basi. apalagi dalam perihal sapa-menyapa terutama dengan orang yang baru dikenal. maka kata-kata indah akan dengan lancar meluncur dari bibir mereka, dan jangan heran bila kelak anda akan disapa dengan sanjungan- sanjungan selangit, semisal : “yā royyīs !” ( wahai presiden ! ), “yā kabtin ! ” ( hai kapten / komandan ) atau “yā afandim” ( wahai tuan yang mulia ! ). bila anda seorang perempuan, berbahagialah dengan teguran-teguran aduhai seperti berikut ini :  yā hilwah” ( hai cantik ! ), “yā amar” ( wahai rembulan ! ), “yā ammūrah” ( wahai tuan puteri ! ) dan seterusnya. iiih … aku jadi tersanjung deh !

 

         seorang prajurit anggota pasukan garuda kita yang berpangkat kopral dan baru bertugas di buffer zone, suez ketika sedang berjalan-jalan di kota cairo dengan berpakaian sipil, menjadi salah tingkah tatkala seseorang mencolek dan menegurnya hangat sambil segera berlalu : “kabtin ! izzayyak ? ” ( hai kapten ! apa kabar nih ? ). sang kopral sambil tersenyum bangga berkata pada rekan di sebelahnya yang berpangkat sersan : yo opo rek, mosok sih aku dada’an naek pangkat langsung dadi kapten ee ! wogé-ér nih yeee ?

 

(3)  heh   isteriku  melahirkan  ???  al-hamdu li ‘llāh  !

 

         bercukur rambut ala dpr ? wah … asyik tuh, apalagi bila dpr ( dibawah pohon rindang )-nya berlokasi di tepi sungai nil yang terkenal jernih dan tenang serta dengan angin semilirnya yang tidak lembab itu, aduh … komplit deh !. coba bandingkan dengan bercukur ala dpr yang ada di taman oerip soemoharjo, jakarta timur atau bahkan yang di sekitar kebon raya bogor !?, pasti sama … yaitu sama-sama mengantukkan alias bikin ngantuk. sudah murah, meriah lagi ( karena ditonton banyak orang yang lalu lalang ).

 

         suatu hari, seorang lelaki gemuk berusia sekitar 30-an sedang terkantuk-kantuk ni’mat ketika bercukur dpr di tepian nil di sekitar kawasan ‘agouzah, guizah ( seberang cairo ). tiba-tiba seorang pemuda gondrong dengan berlari-lari kecil datang menghampiri dan menepuk badan tokoh kita yang rada tambun ini seraya berkata dengan suara tersengal-sengal : “ mitwalli, yallā irga’ ‘awām ( hei mitwalli, ayo cepat pulang ) isterimu mau melahirkan tuh … !”. karena kaget, tanpa berfikir panjang lagi iapun segera beranjak dari kursi cukurnya lalu berlari dengan amat berat. baru beberapa langkah terayunkan iapun segera menghentikannya, lalu berfikir sejenak. kemudian dengan gontainya iapun kembali ke kursi dpr-nya sambil bergumam dan tersenyum kecut  : “ah … bodohnya aku. namaku kan madbūli, bukan mitwalli, lagi pula aku belum menikah, lalu buat apa tadi aku mau pulang segala ?”. aduh, kasian deh … lu, dikerjain orang iseng. makanya … cepat kawin dan suruh isterimu segera melahirkan !. biar ‘nggak kecelé.

 

(4)  pernah  dengar  riwayat  maulid  al-barzanji  “ made  in  japan “ ?

 

         teman-teman mahasiswa asal betawi di cairo biasanya mengadakan pertemuan rutin sebulan sekali. kadang-kadang, acara diisi pula dengan “maulidan” lewat pembacaan “riwayat kelahiran nabi saw.” ( yang

secara keliru disebut dan dikenal dengan istilah pembacaan rawi ).

 

         pada suatu kesempatan pembacaan “rawi” yang berbentuk prosa karya syeikh ja’far al-barzanji, seorang teman yang terkenal bersuara indah dan sangat fasih, diminta untuk membacakan fasal terakhir yang berada persis sebelum fasal yang berisi do’a. ketika kami tengah asyik menikmati merdunya suara si pembaca dan indahnya isi prosa tersebut, tiba-tiba – di bait sebelum terakhir, sebagian hadirin yang eling menangkap sebuah keganjilan pada bacaan teman tadi. jelas saja teman-teman yang mengerti hal ini jadi tersenyum geli, sementara teman-teman lainnya hanya bisa bengong kebingungan melihat sebagian kami pada tersenyum sambil memamerkan gigi betawident-nya. apa pasal ? what’s wrong with this recitation ? makanya lain kali, pada nyimak dong !.

 

         rupanya bait yang seharusnya berbunyi begini : “wa hā hunā waqofa binā jawādu ‘l-maqōli ‘ani ‘t-thirōdi fi ‘l-halbati ‘l-bayāniyah( “sampai disinilah kuda pacu ini menghentikan kita dari terus menebar kata lewat arena lomba yang penuh dengan uraian-uraian indah” ), entah ia sadar atau tidak, satu potong kata terakhir dari bait ini dibaca keliru menjadi : “ …… fi ‘l-halbati ‘l-yābāniyah  yang artinya : “ …… di arena balapan di jepang“. jadi … memang jauh sekali perbedaan artinya, pantaslah kalau sampai bisa membuat kita-kita tersenyum.

 

         sebenarnya teman kita ini tidak dapat dipersalahkan juga –  dia … juga manusia, maka jangan ditusuk dengan pisau belati. ( waktu itu, pada beberapa tahun terakhir, negara mesir memang sedang dilanda badai “demam jepang” sehingga semua berita di segala media selalu dipenuhi dengan kata-kata : “yābān” dan “al-yābāniyah” ( “jepang” dan “yang berbau jepang”). jadi wajar saja bila kerancuan tadi bisa terjadi, karena di benak kitapun setiap hari selalu dijejali dengan kata-kata “yābān” dan “al-yābāniyah” ). mā ‘alisy ba’ā yā akhī, bass syidd heilak. inilah yang disebut dengan slip of the tongue atawe lidah kesrimpet.    

 

(5)  from  pondok  pesantren  ( islamic traditional boarding school )   with  love

 

         karena baru saja mendapat sebuah kata-kata mutiara indah dari pelajaran mahfūzhōt-nya siang tadi, seorang remaja tanggung langsung saja menyambar ballpoint, selembar amplop dan tiga carik kertas merah jambunya. dengan hati yang berbunga-bunga dan senyum ceria yang terus bergelayut di bibirnya, suratpun selesai dibuat dengan tak lupa menyisipkan kata-kata mutiara indah tadi yang menurutnya cocok untuk orang-orang yang sedang kasmaran, sekaligus untuk sedikit “pamer” pada sang pujaan bahwa dirinya mulai “mahir” berbahasa arab.

 

         surat yang “sealed with a kiss”-pun segera dikirim dengan moda kilat tercatat pula. setelah lewat beberapa hari yang menyiksa, balasan yang dinantipun tiba ( sudah barang tentu dengan nama pengirim yang dipalsukan agar lolos sensor ). hatipun deg-deg-plas, berdebar tak karuan. dan dengan bermodal sinar lampu 8 watt, wc yang beraroma alamipun jadi tempat paling aman untuk membaca. selang beberapa menit sang arjunapun keluar dari tempat pertapaannya dengan wajah termehek-mehek, sendu, murung dan pucat pasi bagaikan baru melihat hantu. ada apa gerangan dengan isi surat itu ? the answer is blowin’ in the wind.

 

         rupanya “hubungan diplomatik”-nya baru saja diputuskan oleh sang gadis pujaan yang merasa sangat tersinggung dan diremehkan sekaligus dilecehkan oleh isi kata-kata mutiara sang jejaka ( yang kini sudah di-persona non grata-kan itu ). lho … kok bisa ?  ooh, teganya, teganya, teganya, teganya … pada diriku !

 

         untuk mendapat kejelasan, mari kita simak bersama-sama kata-kata mutiara ( yang berakibat tidak indah itu ) yang telah dikirim oleh sang pangeran. sebuah syi’r berbahasa arab yang sebenarnya hanya terdiri dari dua baris, ternyata … cuma berbunyi begini saja kok :

 

 ahbib habībaka haunan … ‘asā an yakūna baghīdhoka yauman mā,

 wa abghidh baghīdhoka haunan mā …  ‘asā an yakūna habībaka yauman mā”.

artinya :

cintailah kekasihmu sekedarnya saja … khawatir suatu hari ia malah jadi musuhmu,

dan bencilah pada musuhmu sekedarnya saja … khawatir suatu hari ia malah jadi kekasihmu”

 

         bagaimana ? siapa yang salah … sang romeo, sang juliet atau kedua-duanya ?. andalah yang menilai dan keputusan anda tidak dapat diganggu gugat. buat sang arjuna, jangan bersedih, kan ada lagu penghibur seperti ini : putus-nyambung, putus-nyambung, putus-nyambung, putus-nyambung !. semoga aja ya ! don’t ever give up, man ! gitu aja kok repot ?!

 

(6)  ta’līm  al-lughoh  al-‘arobiyyah … li ‘l-athfāl  fi ‘l-bait  !

 

         seorang ayah sedang mengajarkan bahasa arab tingkat dasar kepada putri kecilnya yang masih belajar di tk dengan sangat sabar dan telatén. menurut sang ayah, mengajarkan anak di waktu kecil itu bagaikan mengukir diatas batu, dan karena alasan itu pulalah beliau serius melakoninya.

 

         ketika akan mengakhiri sesi materi “perbedaan antara mudzakkar dan muannats”, sang ayahpun bertanya tentang kata-kata al-midzyā’ ( radio ), apakah termasuk kata-kata mudzakkar ( masculine gender ) atau muannats ( feminine gender ). sang putripun sontak menjawab : “muannats, yah !”. “lho kok muannats sich … nak ?” tanya sang ayah lagi. sang anak yang memang agak lémés inipun segera menukas dengan gayanya sendiri, katanya : “coba aja ayah setel tuh radionya, pasti deh bakal ngoceh dan nyerocos terus, nggak berenti … kayak perempuan gitu !”. sang ayah jadi terbengong-bengong penuh kagum, sedang sang bunda yang sedari tadi cuma khusyuk menyimak, segera beranjak ke arah kulkas untuk mendinginkan hatinya yang sedikit geram. please be cool, mom ! jangan diambil ati dong, emang dia anak siapa sich … ?

 

(7)  i’rōbu ‘l-jumal  ?    uh    amat  boring  and  tiring  deh  ! 

 

         dalam pelajaran bahasa arab, ada satu pembahasan yang selalu bikin hati sebel dan kepala mumet, yaitu mengenai  i’rōbu ‘l-jumlah” ( menguraikan jabatan/kedudukan kata dalam sebuah kalimat ). hampir semua siswa mengeluhkan hal yang satu ini, tanpa kecuali.

 

         di sebuah kesempatan, seorang guru menyuruh salah seorang siswanya untuk meng-i’rōb-kan kalimat berikut : “ yadhribu ‘r-rojulu al-kalba “. sang siswa yang dikenal cukup cerdas dan agak suka nyelenéh ini dengan énténgnya menjawab begini :

 

yadhribu” :  fi’lun mudhōri’, marfū’un bi ‘l-‘ashō.  / “ar-rojulu” :  zhōlim.  / “al-kalba“  :  mazhlūm.

“wa man dhoroba hayawānan dakhola ‘n-nār”  yang artinya :

 

“yadhribu” : fi’l mudhōri’, dengan mengangkat tongkat. / “ar-rojulu” : penganiaya. / “al-kalba“ : teraniaya.

“barang siapa yang memukul binatang ia akan masuk neraka”.

 

padahal i’rōb yang benar mestinya seperti ini  ( ini menurut sang guru lho, bukannya saya ) :

 

yadhribu” : fi’lun mudhōri’, marfū’. / “ar-rojulu” : fā’il, marfū’. / “al-kalba“ : maf’ūlun  bih, manshūb.

 

         sang gurupun hanya geleng-geleng kepala saja mendengan bentuk i’rōb yang aneh tadi, kemudian ia menyuruh si siswa untuk berdiri di pojok sambil mengangkat salah satu kakinya. belum juga lewat 5 menit, tiba-tiba bel tanda istirahatpun berdentang kencang, dan seluruh kelaspun berteriak gembira sambil berhamburan keluar karena baru saja terlepas dari neraka ketakutan.

 

(8)  al-murōsalah  bi  ‘l-‘arobiyyah  ?    why  not  ?    siapa  takut  ! 

 

         belum juga 3 hari ia tinggal ( sementara, sebelum masuk asrama ) di syu’’ah ( apartment ) sumpek kami, matanya sudah kecantol pada kecantikan seorang dara yang tinggal persis di seberang flat kami, mona namanya. ia bahkan telah bertekad ingin mengiriminya surat tanda perkenalan and just saying hello.

 

         karena merasa belum mampu menulis surat berbahasa arab dengan baik dan benar, maka don juan kita inipun membeli buku “al-murōsalah al-‘ashriyyah bi ‘l-‘arobiyyah” ( korespondensi modern dalam bahasa arab ) yang menurut penjualnya merupakan buku best seller saat itu.

 

         setelah menemukan apa yang ia cari, maka sebuah contoh suratpun langsung di-kutib secara utuh dan lengkap, lalu dimasukkan kedalam sebuah amplop yang wangi untuk segera dikirim. esoknya, lewat jasa seorang bawwāb ( portier/penjaga pintu ) apartmentnya, surat itupun langsung sampai di tangan mona.

 

         esoknya lagi, surat balasan yang dinantipun tiba. tetapi kawan kita ini kok malah tampak kecewa berat dan amat terpukul seperti nyaris k.o., ada apa sobat ? broken heart by the first letter, heh ?. rupanya surat mona itu amat jauh dari apa yang diharapkan oleh play boy kita, karena hanya berisi sepotong kalimat doang bo ! ia kemudian menyodorkan lembar surat yang nyaris kosong itu kepadaku. “tolong jelasin dong apa kata yayangku itu”, pintanya pilu. ternyata surat yang cuma sebaris itu memang berbunyi amat menyakitkan, seperti berikut :

 

“iqro’ al-jawāb  minnī  li-risālatik  fi ‘s-shofhah  al-latī   fīhā  risālatuk  fi  nafsi  ‘l-kitāb”, mona.

( baca balasanku untuk suratmu itu di buku yang sama sesudah surat yang kau contek itu, mona )

 

         makanya mas, kalo mau nyontek mbok ya kira-kira dong. akibatnya kan jadi sū-u ‘l-khōtimah gini deh. tapi … jangan dulu down, bro !. rupanya si mona yang cewek mesir itupun memiliki buku yang sama juga buat bahan rujukannya, jadinya kalian draw !  ( wow kaya  al-ahly  vs  zamalek  aja ya )

 

(9)  “ do’a  selamat ”    yang  di-protes  tuan  rumah  

 

         suatu hari, tetangga sebelah rumah mengundang kami untuk acara selamatan salah seorang puteranya yang baru saja dikhitan. kamipun menyempatkan diri untuk menghadiri kenduri ini bersama kira-kira lima belasan orang tetangga lainnya.

 

         acara sederhana ini berjalan cukup khidmat, sampai ketika do’a selamat yang dibacakan oleh seorang sesepuh kampung baru saja sampai pada kalimat “allohumma innā nas-aluka salāmatan fi ‘d-dīn …”, tiba-tiba saja sang tuan rumah yang duduk di sebelah si pembaca do’a segera menukasnya dengan setengah berbisik : “pak, yang dikhitan itu Pirngadi bukan Fidin … !”. merasa ada yang salah, maka do’apun diulang. bunyi do’anyapun berubah menjadi : “allohumma innā nas-aluka salāmatan firngadī …”. āmīn … !, sambut seluruh yang hadir termasuk sang tuan rumah yang kini baru tersenyum bahagia karena puteranya sudah di-dungake.

 

         rupanya tadi, si tuan rumah kurang merasa sreg dengan isi do’a pak tua. ia mengira yang dido’akan adalah si Fidin ( panggilan untuk Rafidin, anak keduanya yang masih kecil ) bukan si Pirngadi, anak yang hari itu disunat, makanya ia melakukan protes keras. padahal arti do’anya kan sudah bagus seperti ini “ya Allah, kami memohon kepadaMU akan keselamatan dalam beragama kami ( fi ‘d-dīn ). oalaah pak…é, pak…é. protes sich protes pak, tetapi do’anya kan jadi kacau begitu !   

 

(10)   hei   kaum  lelaki,  sungguh  miskiiiin “    dech  kamu ! 

 

             kira-kira hanya tinggal 2 halaman lagi buku yang mengasyikkan ini selesai dibaca, seorang teman yang sedari tadi hanya memperhatikan saja, tiba-tiba bertanya : “bang, memangnya kaum lelaki itu pada miskin semua ya ?“lelaki mana maksudmu ?”, aku balik bertanya. “itu, di buku yang sedang abang baca, judulnya kan berkata begitu ?” oooh … ?

 

             judul buku itu adalah “miskīn … ’ālamu ‘r-rujūlah( malangnya dunia lelaki ) karya penulis besar mesir, anis manshour di tahun 70-an. dalam buku lawas itu sebenarnya beliau cuma membeberkan fakta tentang betapa malangnya dunia kaum lelaki dibandingkan dengan dunia kaum wanita dan bukan tentang kemiskinan para lelaki. tengok saja tulisnya, sejak di saat manusia masih belum dilahirkanpun ( ketika masih berbentuk sperma ), nasib si “calon lelaki” sudah jauh lebih malang dari pada nasib “si calon wanita” karena umurnya di dalam rahim jauh lebih singkat dan pendek, sampai … dengan nabi adam as. yang harus diusir tuhan dari surga hanya lantaran ingin menyenangkan hati seorang wanita. iya, kan ?

 

             di mesir-pun, nasib kaum wanitanya sama lebih beruntung. seorang mertua perempuan itu jauh lebih ditakuti ketimbang mertua lelaki, bahkan saking begitu sangat dominan dan otoriternya sehingga titahnya kepada sang menantu tak pernah boleh sampai jatuh ke tanah, tulis buku itu. sampai-sampai ada pemeo yang menggambarkan “kegeraman” para menantu lelaki seperti ini : “ law iltaqoitu bi-tsu’bānin wa hamātī fi waqtin wāhid ( andai aku bertemu dengan  ular  dan  mertua perempuanku  pada waktu yang bersamaan ), maka yang kupukul terlebih dahulu adalah ….… hamātī ( mertua perempuanku ) !” ah … bercanda kamu, mana you berani ? he he he. kasihaaan dech … lo.

 

             sang teman yang baru saja sepekan berada di cairo untuk studi inipun lalu manggut-manggut sambil tersenyum mendengar penjelasanku. “kenapa tersenyum ?” tanyaku heran. “ ’nggak apa-apa, cuma agak malu aja karena … ketahuan bégonya. kirain kata-kata miskīn itu artinya … have nothing alias kéré, gitu ”. “ ‘nggak juga kali, karena kemiskinan itu kan memang sebuah kemalangan yang perlu dikasihani ”, kataku menghibur. it’s all right, guy ! don’t be so unexcited begitu ach !. baru juga seminggu.

 

(11)   ada  “ kutil ”  dalam  film  ………….. “ fajru  ‘l-islām “ ? 

 

         sebelum film kolosal ar-risālah“ yang dibintangi oleh anthony quinn muncul, pernah ada film islami lain yang cukup menyedot perhatian publik, yaitu film fajru ‘l-islām“ ( judulnya diambil dari salah satu “trilogi” kitab sejarah karya prof. ahmad amin : “fajru ‘l-islām“, “dhuha ‘l-islām“ dan zhuhru ‘l-islām“ yang masing-masing terdiri dari 2 jilid ).

 

         karena penasaran, akupun ikut nonton di bioskop “megaria” jakarta, salah satu bioskop kelas satu waktu itu. film dimulai dengan gambar latar belakang padang pasir, pokok-pokok korma, segerombolan unta dan sekumpulan orang-orang arab badwi menjalani kegiatan hidup keseharian mereka di seputar “perkampungan” tenda-tendanya. penonton masih tenang … menunggu adegan-adegan berikutnya.

 

         tiba-tiba terdengar derap keras langkah kaki kuda yang kian mendekat, amat cepat. lalu muncullah sesosok kuda hitam dengan seorang lelaki gagah berjubah gelap diatasnya berteriak lantang : “hasan qutil ! …. hasan qutil ! ….  hasan qutil ! ….”. penonton yang sedikit terperangah dan mulai cekikikan karena tidak mengerti makna teriakan tadi terus menunggu teks terjemahan ( subtitle )-nya yang belum juga keluar. kemudian setelah teks terjemahannya : “hasan dibunuh ! … hasan dibunuh ! … hasan bunuh ! …” muncul dan terbaca penonton, barulah cekikikan agak mereda dan komentarpun mulai ramai terdengar : “oalaah, ceritanya hasan dibunuh toh ? kirain orang tadi neriakin kutil-nya hasan ?”. disitu barulah aku mengerti mengapa tadi mereka pada ber-cekikikan ria, rupanya kata “qutildi film itu difahami sebagai “kutil”-nya mereka. kalau memang benar-benar kutilen, bawa saja ke rshs ( rumah sakit hasan sadikin ) bandung untuk dioperasi bareng manusia akar dan manusia kutil yang satunya lagi ! amit-amit jabang bebe ! na’ūdzu bi-‘llāhi min dzālik ! 

 

(12)   antara  sang  ustadz  muda,  abdullah  dan    abdillah.   

 

         setelah tiap-tiap murid menerima hasil ulangan tarikh islam mereka, abdillah, seorang murid yang terkenal kritis mengangkat tangannya dan bertanya : “ustadz, mengapa jawaban saya pada pertanyaan isian nomor 5 disalahkan, sedangkan jawaban si abdullah dibenarkan, padahal jawaban kami sama ?.

 

          pertanyaan nomor 5 berbunyi begini : nama paman nabi yang mengasuh beliau sepeninggal sang kakek adalah ………… . abdullah mengisi dengan jawaban abu tholib dan dibenarkan, sedangkan abdillah mengisi dengan jawaban abi tholib tetapi disalahkan. sang guru muda yang belum genap sebulan mengajar di kelas 1 mts ( madrasah tsanawiyah ) ini, sedikit bingung memecahkan kasus “rumit” ini. menurut dia, nama abu tholib dan abi tholib itu beda, buktinya di kelas yang diajarnya itu …. nama abdullah itu kan juga berbeda dan tidak sama dengan nama abdillah. ma’qūl  wa  shohīh,    ustādz !

 

         ketika kisah ini diceritakan di ruang guru, seorang guru senior menyodorkan secarik kertas berisi sebaris kalimat berbahasa arab berikut : “qul li-abdillāh, yā abdallāh a-anta haqqon abdullāh ? wa qul li-abī thōlib, yā abā thōlib a-anta haqqon abū thōlib ?”. aduh … mumeeeet dan pusing deh aku ! kita tidak tahu apakah guru muda kita ini mengerti penjelasan guru seniornya tadi atau jangan-jangan malah beliau sudah memberi tambahan nilai bagi si abdillah. syukur deh … kalo gitu !

07
Des
08

bahasamu adalah jati dirimu

(1)  Kita  sudahi  saja  “pertikaian”  antara  Zaid  dan  ‘Amr  itu   sampai  disini

Ungkapan “dhoroba Zaidun ‘Amron” adalah bagaikan sebuah “lagu wajib” yang terus saja didendangkan ( dari masa ke masa, hingga saat ini ) oleh para pengajar bahasa arab untuk contoh susunan “jumlah fi‘liyyah” ( verbal clause ) atau untuk contoh posisi “fā‘il / maf’ūl” ( subject / object ) dalam kalimat. Dan para muridpun biasanya lalu manggut-manggut sebagai tanda mengerti, yang kemudian ‘pasti’ akan menggunakan contoh yang sama dalam ulangan/ujian mereka atau bahkan kelak ketika mereka mengajar. Semua ini sebenarnya sih sah-sah saja, cuma … seperti ada unsur KDRTnya ( Kekerasan Diantara Rekan dan Tetangga ).

Kasihan kali si ‘Amr itu bah, selalu saja jadi penderita. Kata orang, posisi si Zaid dan si ‘Amr sebagai “fā‘il/maf’ūl” disitu tak mungkin kita balik atau pertukarkan, karena si ‘Amr itu tubuhnya kecil dan kurus sehingga tidak mungkin berani memukul si Zaid yang besar dan kekar itu. OK lah kalau memang begitu, tetapi apa harus terus dengan cara pukul-pukulan dan tak ada modus lain lagi yang lebih insani ?. Mbok yo sekali-sekali si Zaid itu ya apa menolong, ya apa memboncengi atau sekalian men-traktir si ‘Amr ke mall gitu ! Yo kan apik to ?

(2)  I’ll  “look for”  someone  who  should  “look after”  you,  bebe

Ujaran diatas itu keren ya ?. Eit … nanti dulu. Itu baru satu dari sekian banyak contoh pemakaian “compound verb” yang biasa kita dapatkan di awal-awal belajar Bahasa Inggris dulu. Tetapi dalam belajar Bahasa Arab, “compound verb” / al-fi’l al-murokkab (?) – kalaupun istilah ini memang ada *) – yang selalu “dipersembahkan” oleh para pengajar adalah contoh klasik satu-satunya ini : “roghiba fī dan roghiba ‘an”, bas we mā fisy tāni. Iya kan apa iya kah … ?

Padahal “compound verb” itu kan bejibun banyaknya dan penggunaannya dalam rangka berbahasa yang baik, benar dan indah adalah sebuah kemutlakan yang tak terbantahkan. Kalau kita tidak menguasainya, bisa-bisa kita bisa bisu alias bisa berbahasa sebisanya doang. Padahal pagi-pagi sekali, baru pada ayat ke-3, 7, 15 dan 17 saja dari surat al-Baqoroh, al-Qur’an sudah menyuguhi kita dengan contoh-contoh manisnya : “al-ladzīna yu’minūna bi ‘l-ghoib …”, “khotama-‘llōhu ‘alā qulūbihim …”, “Allōhu yastahzi-u  bi-him …”, “… dzahaba-‘llōhu bi-nūrihim …”. Berikutnya coba kita tengok contoh-contoh ini :

qodaro ‘alā – ( ﹻ qudroh, maqduroh, maqdaroh, maqdiroh ), roja’a ‘an ( rujū’ ), hāla dūna ( hailūlah ),  asfaro ‘an, ihtāja ilā, a’rodho ‘an, dan ittafaqo ‘alā.

Catatan :

Compound verb” adalah gabungan sebuah kata kerja ( verb / fi’l ) dengan sebuah kata depan ( preposition / harf al-jarr ) sebagai satu kesatuan yang mempunyai sebuah arti tertentu, ( kata depan disini tidak punya makna harfiah ). Makna dari “compound verb” ini akan berubah bila kata depan pasangannya ditukar. Seperti pada “look for” ( mencari ) dan “look after” ( menjaga ) atau “roghiba fī” ( suka ) dan “roghiba ‘an”  ( benci ). Jadi … sebuah kemutlakan, bukan ?

Mohon jangan sampai rancu dengan kata kerjayang diikuti” oleh kata depanmurni“ ( yang berfungsi untuk menunjukkan keterangan tempat semata ), seperti pada : dzahaba ilā, jā-a min ( to go to, to come from ) dan seterusnya.

*) Dalam Bahasa Arab, model “compound verb” ini memang ada juga tergambar secara sekilas dalam pembahasan “ta’diyat al-fi’l bi-harf al-jarr” ( making a transitive verb by adding a preposition ) ( lihat kitab an-Nāhw al-Wāfī, Abbās Hasan, Dār al-Ma’ārif, jilid 2, hal. 159, catatan kaki 1 ).

Tugas kita :

Dalam belajar atau mengajarkan bab fi’l ( kata kerja/verb ), materi “compound verb” ini tidak boleh diperlakukan “seramah dan seremeh” seperti memperlakukan “single verb” ( misalnya  :  akala, sajada atau qotala ).

(3)  Wahai  “al-fi’l  ats-tsulātsī  al-mujarrod”,  mampukah  aku  menggaulimu  dengan  adil  ?

Ketika belajar Bahasa Inggris, ada satu kegiatan yang paling amat tidak diminati oleh banyak pelajar, yaitu mengahafalkan “irregular verb” yang jumlahnya agak lumayan … buaaanyak. didalam belajar atau mengajarkan Bahasa Arabpun, sebenarnya ada satu kegiatan yang mestinya diterapkan hukum yang sama seperti ketika mengajarkan “irregular verb”, yaitu “keharusan menghafalkan” bab tash-rīf ( pengubahan bentuk kata ) dari fi’l mādhi ke fi’l mudhōri’ serta bentuk mashdar dari spesies langka “al-fi’l  ats-tsulātsī  al-mujarrod” yang cuma enam bab itu.

Catatan :

Dari segudang materi pelajaran ‘ilm as-shorf ( morphology / ilmu bentuk kata ) yang konon amat menyeramkan itu, sebenarnya hanya bab yang membahas perubahan bentuk kata dari fi’l mādhi ke fi’l mudhōri’ serta bentuk mashdar dari “al-fi’l  ats-tsulātsī  al-mujarrod” saja yang berpola irregular dan harus dihafalkan, jadi cukup sederhana dan tidak ada yang harus “dipertakutkan”.

Tugas kita :

Dalam belajar atau mengajarkan bab pengubahan bentuk kata dari fi’l mādhi ke fi’l mudhōri’ serta bentuk mashdar dari “al-fi’l  ats-tsulātsī  al-mujarrod” yang cuma enam bab itu, kita harus rela menghafalnya di luar kepala, sama halnya seperti saat kita belajar atau mengajarkan “irregular verb”nya Bahasa Inggris. Jangan lupa kalau belajar sendiri, kita harus ditemani oleh sebuah Kamus Arab yang agak mumpuni untuk bahan rujukan.

Caranya :

Lihat contoh seperti yang dibeberkan pada tulisan terdahulu saat membicarakan “compound verb”, yaitu setiap kali kita membaca / menghafalkan sebuah fi’l mādhi dari “al-fi’l  ats-tsulātsī  al-mujarrod” maka wajib pulalah pada saat itu, kita baca / hafalkan fi’l mudhōri’ serta bentuk mashdar-nya sekaligus. wajib, musti dan kudu, tidak boleh tidak, seperti berikut :

1. nazhoro nazhor, manzhor = hafalkan begini  :  nazhoroyanzhuru, nazhor wa manzhor

2. dzahaba dzahāb, madz-hab = hafalkan begini  :  dzahaba yadz-habu, dzahāb wa madz-hab

3. roja’a rujū’ = hafalkan begini  :  roja’a yarji’u, rujū’

4. fahima fahm, faham = hafalkan begini  :  fahima yafhamu, fahm wa faham

5. hasiba hisbān, mahsabah = hafalkan begini  :  hasiba yahsibu, hisbān wa mahsabah

6. ‘azhuma ‘izhōm, ‘azhomah = hafalkan begini  :  ‘azhumaya’zhumu, ‘izhōm wa ‘azhomah.

Eit … kenapa mengernyitkan dahi begitu, muuuu…met ya ? Coba dulu, pasti dech ketagihan. Selamat mencoba et Bon Appetite !

17
Nov
08

Moso’ Paling Super sih ?

( 4 )   Apa  ada  sesuatu  yang  “paling akbar” … ?

“Bunga melati itu cantik, sedangkan teratai lebih cantik, tetapi mawar paling cantik. Hanya dengan menambahkan kata-kata “lebih” atau “paling” didepan sebuah kata sifat, kita sudah dapat menggambarkan tingkat kecantikan ketiga bunga tadi dalam Bahasa Indonesia. Awalan “ter+” kadang digunakan untuk menggantikan kata-kata “paling” seperti dalam kata tercantik. Begitu juga halnya dengan Bahasa Inggris, cukup hanya dengan menambahkan “…+er / more …” atau “…+est / most …” pada sebuah adjective, maka jadilah bentuk comparative dan superlative.

Adapun dalam Bahasa Arab, kita tidak diminta untuk menambahkan sesuatu pada kata sifat, melainkan harus merubah kata sifat itu sendiri kedalam bentuk khusus yang bernama “ismu ‘t-tafdhīl” ( noun of preference / elative ) berpola : af’alu seperti : akbaru / akbar ( dari akar kata ka-bu-ro yang berarti : besar ). Yang istimewa adalah “ismu ‘t-tafdhīl” yang hanya satu pola ini justru digunakan untuk dua pemakaian : bentuk comparative dan superlative sekaligus. Artinya : kata-kata akbar itu dapat diterjemahkan menjadi “lebih atau paling besar“ tergantung pada susunan kalimatnya ( siyāqu ‘l-kalām ).

Kata-kata akbar yang berarti : “lebih besar“ atau “paling besar“ setelah terserap ke dalam Bahasa Indonesia justru mengalami pergeseran makna yang cukup signifikan. Cermati ungkapan ini : “Rapat / pertunjukan / konser paling akbar ini terselenggara atas …. “ dst. Jadi apa pula maunya kalimat ini … ?  Sebentar, satu lagi menunggu dibawah … !

4.a. Kedua  sahabat  “karib”  itu  ingin  hubungan  mereka  bisa  “lebih  akrab”

Ungkapan diatas yang menjadi judul tulisan ini bikin kita garuk-garuk kepala. Kenapa tidak …, karena kata akrab ( dari kata qoruba, kata sifatnya adalah qorīb artinya : dekat ) adalah bentuk “ismu ‘t-tafdhīl” yang disini bermakna comparative, artinya adalah : lebih dekat. Jadi, mengapa tidak ditulis saja … ingin hubungan mereka bisalebih karib”, bukankah kata karib sudah jadi Bahasa Indonesia ?. Oalaah, bingung … bingung.

4.b. “Syair-syair  penyair”  muda  itu  sangat  menggugah

Buat yang tidak atau belum akrab dengan Bahasa Arab, judul tulisan diatas mungkin akan terbaca atau terdengar biasa saja. Tetapi buat mereka yang mengigaunya saja dengan Bahasa Arab, wah … bisa bikin telinga jadi gatal. Pourquoi … ?

Pada tulisan sebelumnya telah disinggung bahwa sebuah kata yang terserap ke dalam bahasa lain, bisa saja mengalami pergeseran makna yang kadang sangat mengganggu, terutama bila kata-kata itu dibaca atau didengar oleh mereka yang telah terbiasa akrab dengan makna kata-kata itu pada bahasa aslinya.

Kata ”syair” dalam Bahasa Arab termasuk kategori ”ismu ‘l-fā’il” ( nomen agentis / active participle ) yang menunjukkan arti pelaku atau orang yang melakukan sesuatu. Jadi kata-kata ”syair” ( syā’ir ) yang berakar pada kata sya-‘a-ro ( membuat puisi ) artinya adalah “pembuat puisi” ( penyair ), sedang kata-kata “puisi” itu sendiri Bahasa Arabnya adalah ”syi’r”. Jadi judul tulisan ini kalau mau di-arab-kan menjadi “Syi’r-syi’r ( jama’nya : asy‘ār ) syā’ir” muda itu sangat menggugah. Hayo … bingung kan ? Makanya … telinga ini jadi gatal.

16
Nov
08

Serap-menyerap Kata

( 3 )   Menuntut  “ilmu”  itu  “fardu”  lho …

Bersamaan dengan masuknya agama Islam ( dengan al-Qur’an dan as-Sunnah yang berbahasa Arab sebagai sumber hukumnya ) ke Indonesia, maka mulailah kata-kata Bahasa Arab terserap kedalam Bahasa Indonesia ( pada awalnya secara tidak sistimatis ), … tak terbilang banyaknya.

Maka kata-kata semisal : azab, khilaf dan ikhlas, lalu … kiamat, rahmat dan jum’at, kemudian … ilmu, waktu dan fardu mulai ramai digunakan orang dalam keseharian berbahasa mereka. Tapi nanti dulu, cermatilah sembilan kata serapan yang saya kelompokkan menjadi tiga itu. Ada yang aneh … ? Tidak, itulah hasil dari sistimatika penyerapan (?) yang telah tercipta.

Pedoman umum : Sebuah kata Bahasa Arab biasanya diucapkan dengan cara mematikan bunyi huruf akhirnya seperti pada bacaan waqf. Maka kata-kata azābun, salāmun dan rohmatun diucapkan sebagai : azāb, salām dan rohmah. Pola inilah yang kemudian digunakan untuk menyerap kata-kata Bahasa Arab diatas dengan penyesuaian disana-sini. Lalu jadilah seperti berikut : azab, salam dan rahmat.

Kata-kata yang diserap itu dikelompokkan menjadi 3 ( tiga ).

Kelompok pertama : Kata-kata yang berhuruf akhir bukan hā’ ( tā’ marbūthoh ). *) Kata-kata ini dilafalkan dan ditulis dengan mematikan ( memberi harakah sukun pada ) huruf akhirnya seperti pada bacaan waqf dalam ilmu tajwid, contohnya adalah kata-kata azab, khilaf dan ikhlas diatas.

*) Sebagian ahli menyebut hā’ ( / ) ini sebagai : tā’ at-ta’nīts al-mutaharrikah al-muta’akh-khiroh atau hā’ at-ta’nīts ( lihat kitab an-Nāhw al-Wāfī, Abbās Hasan, Dār al-Ma’ārif, jilid 1, hal. 50, catatan kaki 1 ). Di kita, orang lebih mengenalnya dengan tā’ marbūthoh atau tā’u ‘l-muannats.

Kelompok kedua : Kata-kata yang berhuruf akhir hā’ ( tā’ marbūthoh ). Kata-kata ini dilafalkan dan ditulis dengan merubah huruf akhir hā’ ( tā’ marbūthoh ) itu menjadi t, seperti pada kata-kata kiamat, rahmat dan jum’at diatas.

Untuk yang ini saya malah lebih cenderung untuk mengganti huruf akhir hā’ ( tā’ marbūthoh ) itu menjadi h, sehingga menjadi kiamah, rahmah dan jum’ah, yang sinkron dengan hukum bacaan waqf. Dan yang aneh malah justru pola terakhir ini disahkan untuk kata-kata semisal :  fitrah, sedekah dan umroh. Atau barang kali karena kata-kata ini termasuk dalam koridor “terminologi agama” ?. ( Akan ada pembahasan lebih lanjut pada tulisan bertajuk “Ayah-ayah Cinta”, in syā-a ‘llōh )

Kelompok ketiga : Kata-kata yang dua huruf akhirnya adalah konsonan, seperti ‘ilm, waqt dan fard. Mungkin karena secara fonetis kata-kata ini sulit dilafalkan oleh lidah kita dan Bahasa Indonesiapun tidak mengenal pola ini, maka diambillah kata-kata aslinya secara utuh ( lengkap dengan dhommah / dhommatain-nya ) sebagai kata serapan yang baku … et le voilá ! Jadilah : ilmu, waktu dan fardu.

Untuk yang ini saya malah punya tiga catatan :

1. Kalaulah kata-kata seperti fard bisa menjadi fardu dan seterusnya, lalu bagaimana dengan kata-kata : aqd, makr dan sobr yang berpola sama. Mengapa yang muncul malah : akad, makar dan sabar bukannya akdu, makru dan sobru ? Coba kita tanya pada rumput yang bergoyang.

2. Saya jadi ingat dan kasihan pada seorang teman yang telah menjadi korban dari kata-kata ilmu ini. Ceritanya begini : bagaikan seorang orator, tokoh kita yang ketua osis ini dalam pidato perpisahan sekolahnya menerangkan tentang pentingnya ilmu. Dengan lantang dan fasihnya ia menukil hadits (?) Nabi SAW. sbb. : “Man arōda ‘d-dun-yā fa ‘alaihi bi ‘l-‘ilmu, wa man arōda ‘l-ākhirota fa ‘alaihi bi ‘l-‘ilmu, wa man arōda-humā fa ‘alaihi bi ‘l-‘ilmu. Seluruh hadirinpun bertepuk tangan, riuh sekali. Teman yang mengundang terheran-heran melihat saya hanya tersenyum kecut. Kenapa … ada yang aneh ? Ah tidak, cuma heran pada kata-kata ilmu itu saja kok, jawabku mengelak.

Kasihan singa podium kita ini, … mungkin terjemahan potongan hadits yang berbunyi : “haruslah dengan ilmu” itu agak mengacaukan memory-nya, sehingga sebanyak tiga kali ia mengucapkan “fa ‘alaihi bi ‘l-‘ilmu dengan keliru tanpa menyadarinya barang sedikit. Memangnya ada yang salah ? ya … iya dong. Mestinya ia mengucapkannya begini : “fa ‘alaihi bi ‘l-‘ilmiatau “fa ‘alaihi bi ‘l-‘ilmbaru benar. Sumpah, ini benar-benar terjadi puluhan tahun yang lalu, bukan cerita fiksi.

3. Dulu saya pernah mengganggu seorang teman yang guru bahasa arab. buku “ilmu nahwu” miliknya yang menggunakan Bahasa Indonesia, judulnya saya coret dengan kapur tulis. Ketika ia protes dengan amat marah, saya katakan bahwa judul bukunya memang salah. Ia tidak terima dan merasa tak ada yang salah. Lalu di atas secarik kertas saya buat sebuah tulisan berhuruf arab yang transkripnya begini : “ ilmu ‘n-nahwi “. Setelah membaca iapun tersenyum kecil dan segera berlalu dengan agak malu, hi..hi..hi. What’s the difference ?

13
Nov
08

Rohim atau Rohmi sich ?

( 2 )   “Hubungan  Kekeluargaan”  itu  akhirnya  ter-rehabilitir  juga

Setiap kali ada kegiatan pertemuan, kumpul-kumpul, temu-kangen atau acara pulang mudik maka ungkapan “silaturrahmi / silaturrohmi” pastilah bakal menjadi sajian menu utamanya. Dan hal itu sudah berlangsung laamaa … sekali tanpa ada perubahan, dan selama itu pula tak ada seorangpun yang sempat memikirkan nasib si “silaturrahmiyang sebenarnya telah diperlakukan secara salah dan keliru. Baru pada dasa warsa ini banyak yang mulai tersadar dan secara perlahan me-rehabilitir nama si “silaturrahmi” ini. Jazaahumu ‘lloh khoiron. ( Maaf penulisan “silaturrahmi” ini masih mengikuti pola yang biasa dipakai di web-web ).

Dalam Bahasa Arab, dari akar kata “ro-hi-ma” tak pernah terlahirkan kata-kata “rohm” yang kemudian membentuk kata majemuk “silaturrohmi” itu. Yang ada hanya kata “rohim” dan padanannya “rihm” yang makna dan artinya cocok untuk ungkapan yang berhulu dari hadits rosul SAW. itu. ( Lihat kamus Lisānu ‘l-‘arob, Ibn Manzhūr, Dār al-Ma’ārif, hal. 1611 – 1614 ). Alhasil … kini mulai banyaklah orang-orang yang lidahnya sudah mulai terbiasa melafalkan ungkapan yang sahih yaitu : “silaturrahim / silaturrohim” ( silatu ‘r-rohim / silat al-rohim ). Selamat datang kembali anak yang tersesat.

“Dan”  itu  ya …  “Wa”  itu

Sebuah ungkapan surgawi ( “silaturrahim / silaturrohim / silatu ‘r-rohim / silat al-rohim ) baru saja ter-rehabilitir setelah ratusan tahun terzholimi, kini muncul sebuah ungkapan qur’āni lain yang kembali dizholimi, dan kali ini kebetulan dilakukan oleh mereka yang terbilang awam. Tapi malangnya kesalahan ini terus diikuti secara buta dan ni’mat oleh orang banyak. Ungkapan itu adalah : “mawaddah dan wa rohmah” ( bandingkan dengan potongan ayat ke-21 surah ar-rūm ). Dimana kelirunya … ?

Kecil itu indah tapi bisa merusak juga lho. Buktinya kehadiran kata “dan“ yang kecil itu dalam ungkapan diatas justru sangat amat mengganggu. Kenapa … ? Karena kata “dan“ itu sendiri sebenarnya sudah merupakan arti, makna atau terjemahan dari kata “wa“ yang sudah hadir dalam ungkapan qur’ani itu sejak 15 abad yang lalu. Jadi kehadirannya disitu malah merusak dan hanya bikin kotor saja bahkan boleh dianggap menambah-nambah pada ayat al qur’an lho !. Iya apa iya … ?

14
Jun
09

Cinta itu Gila !

(2)  Tolaklah  aku  sebisamu  ….  kau  pasti  tetap  kudapat  !

Apa jadinya bila seseorang cintanya ditolak mentah-mentah ?. Bagi yang berjiwa besar, mungkin ia masih akan terus mencoba, lagi dan lagi sampai tujuannya tercapai atau … mundur teratur, balik kanan … bubar jalan !. Tetapi buat mereka yang berjiwa kerdil dan suka memaksakan kehendak, bisa-bisa “pemeo jalanan” : Bila cinta ditolak, dukun segera bertindak akan jadi satu-satunya alternatif. Wow … taakuut !?

Sebaris syi’r anonim berikut ini mungkin pernah terbaca dan kemudian meng-inspirasi mereka-mereka yang begitu sangat gigih dalam merengkuh cita-cita cintanya hingga titik nafas penghabisan :

Laisa  ‘l-hijābu  bi-muqshin  ‘an-ka  lī  amalan

inna  ‘s-samā-a  turojjā  hīna  tuhtajabu 1)

Jangan kau kira penghalang itu akan dengan mudah menyurutkan tekadku  …….

sedangkan langit yang terhalang mendung malah membuat orang makin penuh harap

Iiih … nékat juga ya orang ini. Tetapi itulah cinta yang bila telah merasuki jiwa seseorang, maka dunia jadi tidak punya arti apa-apa dan ia dapat berbuat apa saja, sesukanya. Coba simak lagi dua potong syi’r anonim  berikut ini :

Hawā-ka  atānī  wa  huwa  dhoifun  u‘izzu-hu

fa-ath‘amtu-hu  lahmī  wa  asqoitu-hu  damī 2)

Buai cintamu itu telah merasuki diriku bak seorang tamu yang harus kumuliakan  …….

maka kuberikanlah ia makan dan minum berupa daging dan darahku sebagai suguhan

Anta  dā-’ī  wa  fī  yadai-ka  dawā-’ī

yā  syifā-‘ī  mina  ‘l-jawā  wa  balā-’ī 3)

Engkaulah penyebab semua sakitku, di tanganmulah kulihat obat penawar untukku  …

wahai engkau, penyembuhku dan penyengsaraku dengan cinta ini

Iiih … jadi makin serem aja ya. Ya iya lah, kata orang bijak : “Love is Blind” ( Cinta itu Buta ), sedangkan Buta ( raksasa ) itu kan suka menyantap manusia, jadi “Cinta itu Suka Menyantap Manusia”. Maka berhati-hatilah dengan yang namanya cinta !.

Catatan :

1)  dari kitab al-Balāghoh al-Wādhihah, Mushthofa al-Jārim, Cairo.

2-3)dari kitab Mīzānu ‘dz-dzahab fī Shinā‘ati syi‘ri ‘l-‘arob, As-sayyid Ahmad al-Hāsyimī, Beirut, 1979.

(3)  Cé  Él  Bé  Ka  ….  apakah  engkau  benar-benar  ada  ?

Falsafah Oude Liefde roest niet ( Cinta Lama tak pernah padam ) rupanya amat setia dianut oleh para penduduk negerinya Van Gogh sama halnya dengan orang-orang sekampung William Shakespeare yang meyakini kepercayaan First Love never dies ( Cinta Pertama tak kan pernah mati ) ini dalam hidup mereka.

Di kita kelihatannya sama saja, bahkan dua stasiun tv swasta sampai bersaing dengan mengangkatnya menjadi acara reality show unggulan mereka meski bukan di tayangan prime time. Yang satu mengusung tema Cinta Lama Bersemi Kembali ( CLBK ), sedang yang satunya lagi memasang judul First Love. Bagaimana dengan kawan-kawannya Abu Nuwas, adakah mereka juga menganut mazhab indah yang satu ini ?. Barangkali sepotong sajak Lāmiyah ini bisa menjawabnya :

Naqqil  fu’āda-ka  haitsu  syi’-ta  mina  ‘l-hawā

wa  mā  ‘l-hubbu  illā  li ‘l-habībi  ‘l-awwali

Biarkanlah hatimu berkelana kemana ia suka untuk menebar cintanya …

ketahuilah bahwa cinta sejati akan selalu kembali pada kekasih pertama

Tampaknya John Lennon dan Paul McCartney ( dua pentolan The Beatles ) merasakan benar “jiwa” sajak berbahasa arab diatas, sehingga membuat mereka harus menuangkannya ke dalam lirik lagu sendu mereka yang bertajuk “Long and Winding Road” ini :

The long and winding road  …………..

It always leads me here  …     leads me to your door

Jalan panjang yang berkelak-kelok itu ……………

Selalu saja membawaku kembali kesini … kembali ke pintu hatimu

Para suami yang mendapat istri atau istri yang dinikahi suami bukan karena cinta pertama masing-masing, tak perlulah harus merasa terlalu resah atau was-was karena takut akan kehilangan pasangannya, karena dua alasan. Pertama : survey membuktikan bahwa tidak semua cinta pertama memiliki bobot kesejatian hakiki seperti yang tercermin dalam dua kata bijak diatas sehingga mampu bangkit kembali dari alam sana. Kedua : ada sebuah “dogma” kuat yang sampai saat ini masih taat dianut oleh kebanyakan kita, yaitu bahwa “Mencintai itu tidak selalu harus Memiliki”. Aman … kan ?

(4)  Cinta  bisa  bikin  Mabuk,  …  setengah  Gila,  atau  …  Gila beneran  ?

Orang-orang tua dulu membandingkan kita yang sedang Jatuh Cinta itu bagaikan orang yang sedang Mabuk Kepayang. Kepayang adalah sejenis buah beracun dari pohon besar yang hanya tumbuh di hutan-hutan Sumatera dan Kalimantan, yang dapat membuat pemakannya menjadi limbung dan mabuk serta bertingkah bak orang gila. Dan cinta itu ya katanya begitu, dapat membuat kita limbung, mabuk bahkan mungkin “gila”.

Jadi tidak heran bila seorang penulis lirik lagu sekaliber Ibrahim Nagi-pun, sampai harus ikut-ikutan menuangkan “kegilaan cinta” ini kedalam lagu khususnya untuk Ummu Kultsum ( Diva Penyanyi Arab ) yang berjudul “Al-Athlāl” ( Ruins / Puing-puing ) yang melegenda itu, begini :

Hal  ro’ā  ‘l-hubbu  sukārō mitsla-nā

kam  banai-nā  min khoyālin  haulanā

wa  masyai-nā  fī  thorīqin  muqmirin

ta‘ibu ‘l-farhatu  fīhi  qoblanā

wa  dhohik-nā  dhohka  ‘th-thiflaini  ma‘an

wa ‘adaunā  fa-sabaq-nā  zhilla-nā

Adakah cinta pernah  melihat orang-orang yang mabuk seperti kami ini …

yang terus membangun angan-angan muluk dan khayalan tinggi

yang terus telusuri jalan-jalan yang temaram oleh sinaran rembulan

penuh dengan fatamorgana kebahagiaan tak berujung

yang tertawa renyah bak dua orang bocah yang kegirangan

lalu berpacu lari, hanya mengejar bayang-bayang kami sendiri …. ?

Rupanya Cak Gombloh ( penulis lagu sekaligus penyanyi nyentrik ) itupun tak mau ketinggalan untuk ikut ambil bagian. Dalam lirik lagu Setengah Gila dari Trilogi lagu-lagu “Gila”nya ( Setengah Gila, Gila dan Semakin Gila ) ia menulis tentang ulah cinta itu begini :

Ada yang sumpah langit dan bumi

Katanya cinta setengah mati

Datang apél setiap hari

Bagai kiamat kan datang esok pagi

Bercinta super

Melengket bak kue lemper

Itulah cinta yang bikin ulah

Tua atau remaja

Gadis atau jejaka

Setengah Gila.

Bahkan John Lennon dan Paul McCartney ( The Beatles ) sampai memimpikan sebuah “kegilaan khayali” unik dan aneh yaitu kalau mungkin agar satu pekan yang sekarang cuma tujuh hari itu bisa menjadi delapan hari ( dan itupun masih kurang cukup ) agar keduanya dapat mencurahkan se-abrek-abrek cinta mereka kepada sang pujaan dengan sepuasnya. Itu mereka tulis dalam lagu “Eight days a week“-nya :

Eight  days  a  week  is  not  …

enough  to  show  I  care

Delapan  hari  sepekanpun masih  belum

cukup untuk menunjukkan  betapa aku  menyayangimu

Wow, luar biasa dan begitu dahsyatnya …. Cinta !. Dan agar kita tidak ikut-ikutan menjadi gila, maka tulisan ini terpaksa harus disudahi saja sampai disini. Gila !




Ingat Waktu !

Demi Masa

Kategori

Blog Stats

  • 6.176 hits
April 2024
S S R K J S M
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930