17
Mar
09

uq’uduu … yaa hadhrot al-habaaib

(4)  “ Habā-ib ” (?)  dalam  bejibunnya  bentuk-bentuk  “ jam’u ‘t-taksīr ”

Dalam pembelajaran bab “jam’u ‘t-taksīr” yang lumayan banyak macamnya itu, ketika sampai pada pembahasan wazn “fa-’ā-il”, kamipun diberikan bermacam-macam contohnya, seperti : ro-sā-il ( dari bentuk mufrod risālah ), sho-hā-if ( dari bentuk mufrod shohīfah ) dan ‘a-jā-iz ( dari bentuk mufrod ‘ajūz / perempuan tua ). Lalu sang pengajar bertanya tentang bentuk mufrod dari kata-kata “habā-ib” yang dengan entengnya dijawab oleh para murid dalam sebuah koor yang amat kompak : “habīb” !. Dan sang gurupun manggut-manggut bahagia tanda setuju. Is it all and so simple ? Kayaknya perlu tadqīq dan tahqīq nih ?

Dalam kitabnya “Al-Faishol fī Alwāni ‘l-Jumū’“ ( Dāru ‘l-Ma’ārif, Mesir ) pada halaman 79-82 ( al-binā’ ats-tsāmin ‘asyar : fa-’ā-il ), halaman 123 ( jam’u ‘l-muannats minhu bi ‘l-alifi wa ‘t-tā’, wa ‘alā fa-’ā-il )  dan pada halaman 165-168 ( fashl fī asmā’ lā tukassar illa ‘alā fa-’ā-il ), sang pengarang, ‘Abbās abu ‘s-Sa’ūd dengan rujukan kitab-kitab : Alfiyah, Syarh al-Mufash-shol, Syarh Ibn Ya’īsy dll. ada mengupas secara tuntas pembahasan wazn “fa-’ā-il” ini yang ringkasannya sebagai berikut :

Wazn “fa-’ā-il” dipakai sebagai patokan/pola/model untuk bentuk jam’u ‘t-taksīr yang berasal dari setiap bentuk mufrod berikut ini dengan syarat dan ketentuan khusus, yaitu :

1. Rubā’ī ( terdiri dari empat huruf ) yang huruf ketiganya adalah huruf MAD,

2. MUANNATS,

3. bisa berakhiran dengan huruf HĀ’ ( tā’ ) marbūthoh dengan lima wazn/pola, seperti :

a. fa-‘ā-laH contohnya   : sya-hā-daH, jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : sya-hā-id

b. fi-‘ā-laH contohnya   : ri-sā-laH,       jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : ro-sā-il

c. fu-‘ā-laH contohnya   : qu-lā-maH, jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : qo-lā-im ( potongan )

d. fa-‘ū-laH contohnya   : ha-mū-laH, jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : ha-mā-il ( unta hamil )

e. fa-‘ī-laH contohnya   : ‘a-qī-daH, jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : ‘a-qō-id.

4. bisa TIDAK berakhiran dengan huruf HĀ’ ( tā’ ) marbūthoh dengan lima wazn/pola, seperti :

a. fi-‘ā-l contohnya   : syi-nā-th,       jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : sya-nā-ith ( perempuan mulus )

b. fa-‘ā-l contohnya   : sya-mā-l, jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : sya-mā-il ( angin dari utara )

c. fu-‘ā-l contohnya   : ‘u-qō-b, jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : ‘a-qō-ib ( burung buas )

d. fa-‘ū-l contohnya   : ‘a-jū-z, jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : ‘a-jā-iz ( perempuan tua )

e. fa-‘ī-l contohnya   : sa-‘ī-d, jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : sa-‘ā-id ( nama perempuan )

( Kelompok ini tetap dipersyaratkan harus berbentuk MUANNATS TA’NĪTSAN  MA’NAWIYYA )

Kesimpulan :

1.  jadi, dengan syarat nomor 2 atau nomor 4 saja ( yang mengharuskan bentuk MUANNATS ), maka kata-kata “habāib” yang ‘alā wazn “fa-’ā-il ” itu adalah tidak mungkin merupakan  jam’u ‘t-taksīr dari kata-kata “habīb”, karena lafzh “habīb” jelas-jelas adalah MUDZAKKAR.

2.  bila mencari dalam kamus-kamus besarpun kita baru dapat menemukan kata-kata “habāib” pada bentuk jam’ dari entri kata “habībaH” yang MUANNATS ( syarat nomor 3.e. diatas terpenuhi ).

3.  sedang bentuk jam’ dari entri kata “habīb” yang kita temukan di kamus-kamus tadi adalah : ahibbā’, ahibbah, dan ahbāb, serupa dengan kata-kata syadīd, kholīl, thobīb, ‘azīz, dan jalīl ( kesemuanya adalah  mudho’’af ) yang bentuk jam’-nya adalah : asyiddā’ ( surah al-Fath : 29 ) , akhillā’ ( surah az-Zukhruf : 67 ), athibbā’, a’izzā’, dan ajillā’. ( lihat buku al-Faishol fī Alwāni ‘l-Jumū’ diatas pada halaman 74 dalam pembahasan al-binā’ as-sādis ‘asyar : af-‘i-lā’)

Ketika sedang mumet-mumetnya menyusun tulisan ini, tiba-tiba terdengar alunan merdu suara Farīd al-Athrosy, penyanyi Mesir asal Libanon yang mendendangkan sebuah lagu lawas bertajuk : habāibi yā ghōibīn”. Hal ini mengingatkan saya pada sepotong kata yang sama berbunyi “… l-ajli ‘l-habāib dari lagu “Wahasy-tūnī” yang biasa dilantunkan oleh biduan terkenal Mesir asal Aljazair, Wardah al-Jazāiriyah. Dalam  kedua lagu ( dalam logat ‘amiyah masriyah ) tadi terdapat kata-kata habāib yang berarti para kekasih ( baik laki-laki maupun perempuan ). Maka hati inipun jadi tenang dan riang lagi deh.  Oh … yā habāibi, wahasy-tūnī  ‘awi, law aghommad wa afattah, lā’īkum gāiyīn, gāiyīn.

(5)  “ Duduklah … ! “  bahasa  arabnya  apa  ya  ?,  “ uq’ud ! ”  atau  “ ijlis ! ”  ?

Jika pertanyaan diatas yang menjadi judul tulisan ini harus diladeni, maka jawaban bareng kita pasti kompak seperti ini : “Kedua-duanya benar !”, karena kata-kata “uq’ud” merupakan fi’l amr ( bentuk imperatif / perintah ) dari qo’ada , qu’ūd dan begitu juga halnya dengan kata-kata “ijlis” dari jalasa , julūs yang kedua-duanya berarti “duduk”. The answer is absolutely … right, kan ?  Kita …, gitu loh !

Shobron ya ikhwah !. Tetapi ada juga lho yang menjawabnya begini : “Ya …, tergantung lah !”. Lho kok ? Menurut orang ini, ‘Ali ‘bnu Bāli al-Qosthonthīni dalam bukunya “Khoiru ‘l-Kalām fi ‘t-Taqosh-shi ‘an Aghlāthi ‘l-‘Awām“ ( Dār ar-Risālah, Beirut, 1983 ) bahwa perintah  “uq’ud” khusus ditujukan untuk orang yang sedang berdiri agar duduk. Sedangkan perintah “ijlis” hanya diberikan untuk orang yang sedang berbaring ( atau yang berposisi mirip itu ) agar duduk. “Fa inna ‘l qu’ūda : al-intiqōlu min ‘uluww ilā sufl, wa ‘l-julūsa bi ‘l-‘aks” katanya, yang artinya : “Karena kata-kata qu’ūd mengandung arti perpindahan dari posisi atas ke posisi bawah, sedangkan kata-kata “julūs” merupakan kebalikannya. Jadi, berbeda kan ? Ya beda baaanget. OK, kalo gitu … please Sit down deh, eeeh … Take a seat lah !


0 Tanggapan to “uq’uduu … yaa hadhrot al-habaaib”



  1. Tinggalkan sebuah Komentar

Tinggalkan komentar


Ingat Waktu !

Demi Masa

Kategori

Blog Stats

  • 6.185 hits
Maret 2009
S S R K J S M
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
3031