(4) “ Habā-ib ” (?) dalam bejibunnya bentuk-bentuk “ jam’u ‘t-taksīr ”
Dalam pembelajaran bab “jam’u ‘t-taksīr” yang lumayan banyak macamnya itu, ketika sampai pada pembahasan wazn “fa-’ā-il”, kamipun diberikan bermacam-macam contohnya, seperti : ro-sā-il ( dari bentuk mufrod risālah ), sho-hā-if ( dari bentuk mufrod shohīfah ) dan ‘a-jā-iz ( dari bentuk mufrod ‘ajūz / perempuan tua ). Lalu sang pengajar bertanya tentang bentuk mufrod dari kata-kata “habā-ib” yang dengan entengnya dijawab oleh para murid dalam sebuah koor yang amat kompak : “habīb” !. Dan sang gurupun manggut-manggut bahagia tanda setuju. Is it all and so simple ? Kayaknya perlu tadqīq dan tahqīq nih ?
Dalam kitabnya “Al-Faishol fī Alwāni ‘l-Jumū’“ ( Dāru ‘l-Ma’ārif, Mesir ) pada halaman 79-82 ( al-binā’ ats-tsāmin ‘asyar : fa-’ā-il ), halaman 123 ( jam’u ‘l-muannats minhu bi ‘l-alifi wa ‘t-tā’, wa ‘alā fa-’ā-il ) dan pada halaman 165-168 ( fashl fī asmā’ lā tukassar illa ‘alā fa-’ā-il ), sang pengarang, ‘Abbās abu ‘s-Sa’ūd dengan rujukan kitab-kitab : Alfiyah, Syarh al-Mufash-shol, Syarh Ibn Ya’īsy dll. ada mengupas secara tuntas pembahasan wazn “fa-’ā-il” ini yang ringkasannya sebagai berikut :
Wazn “fa-’ā-il” dipakai sebagai patokan/pola/model untuk bentuk jam’u ‘t-taksīr yang berasal dari setiap bentuk mufrod berikut ini dengan syarat dan ketentuan khusus, yaitu :
1. Rubā’ī ( terdiri dari empat huruf ) yang huruf ketiganya adalah huruf MAD,
2. MUANNATS,
3. bisa berakhiran dengan huruf HĀ’ ( tā’ ) marbūthoh dengan lima wazn/pola, seperti :
a. fa-‘ā-laH contohnya : sya-hā-daH, jam’u ‘t-taksīr-nya adalah : sya-hā-id
b. fi-‘ā-laH contohnya : ri-sā-laH, jam’u ‘t-taksīr-nya adalah : ro-sā-il
c. fu-‘ā-laH contohnya : qu-lā-maH, jam’u ‘t-taksīr-nya adalah : qo-lā-im ( potongan )
d. fa-‘ū-laH contohnya : ha-mū-laH, jam’u ‘t-taksīr-nya adalah : ha-mā-il ( unta hamil )
e. fa-‘ī-laH contohnya : ‘a-qī-daH, jam’u ‘t-taksīr-nya adalah : ‘a-qō-id.
4. bisa TIDAK berakhiran dengan huruf HĀ’ ( tā’ ) marbūthoh dengan lima wazn/pola, seperti :
a. fi-‘ā-l contohnya : syi-nā-th, jam’u ‘t-taksīr-nya adalah : sya-nā-ith ( perempuan mulus )
b. fa-‘ā-l contohnya : sya-mā-l, jam’u ‘t-taksīr-nya adalah : sya-mā-il ( angin dari utara )
c. fu-‘ā-l contohnya : ‘u-qō-b, jam’u ‘t-taksīr-nya adalah : ‘a-qō-ib ( burung buas )
d. fa-‘ū-l contohnya : ‘a-jū-z, jam’u ‘t-taksīr-nya adalah : ‘a-jā-iz ( perempuan tua )
e. fa-‘ī-l contohnya : sa-‘ī-d, jam’u ‘t-taksīr-nya adalah : sa-‘ā-id ( nama perempuan )
( Kelompok ini tetap dipersyaratkan harus berbentuk MUANNATS TA’NĪTSAN MA’NAWIYYA )
Kesimpulan :
1. jadi, dengan syarat nomor 2 atau nomor 4 saja ( yang mengharuskan bentuk MUANNATS ), maka kata-kata “habāib” yang ‘alā wazn “fa-’ā-il ” itu adalah tidak mungkin merupakan jam’u ‘t-taksīr dari kata-kata “habīb”, karena lafzh “habīb” jelas-jelas adalah MUDZAKKAR.
2. bila mencari dalam kamus-kamus besarpun kita baru dapat menemukan kata-kata “habāib” pada bentuk jam’ dari entri kata “habībaH” yang MUANNATS ( syarat nomor 3.e. diatas terpenuhi ).
3. sedang bentuk jam’ dari entri kata “habīb” yang kita temukan di kamus-kamus tadi adalah : ahibbā’, ahibbah, dan ahbāb, serupa dengan kata-kata syadīd, kholīl, thobīb, ‘azīz, dan jalīl ( kesemuanya adalah mudho’’af ) yang bentuk jam’-nya adalah : asyiddā’ ( surah al-Fath : 29 ) , akhillā’ ( surah az-Zukhruf : 67 ), athibbā’, a’izzā’, dan ajillā’. ( lihat buku al-Faishol fī Alwāni ‘l-Jumū’ diatas pada halaman 74 dalam pembahasan al-binā’ as-sādis ‘asyar : af-‘i-lā’)
Ketika sedang mumet-mumetnya menyusun tulisan ini, tiba-tiba terdengar alunan merdu suara Farīd al-Athrosy, penyanyi Mesir asal Libanon yang mendendangkan sebuah lagu lawas bertajuk : “Yā habāibi yā ghōibīn”. Hal ini mengingatkan saya pada sepotong kata yang sama berbunyi “… l-ajli ‘l-habāib” dari lagu “Wahasy-tūnī” yang biasa dilantunkan oleh biduan terkenal Mesir asal Aljazair, Wardah al-Jazāiriyah. Dalam kedua lagu ( dalam logat ‘amiyah masriyah ) tadi terdapat kata-kata habāib yang berarti para kekasih ( baik laki-laki maupun perempuan ). Maka hati inipun jadi tenang dan riang lagi deh. Oh … yā habāibi, wahasy-tūnī ‘awi, law aghommad wa afattah, lā’īkum gāiyīn, gāiyīn.
(5) “ Duduklah … ! “ bahasa arabnya apa ya ?, “ uq’ud ! ” atau “ ijlis ! ” ?
Jika pertanyaan diatas yang menjadi judul tulisan ini harus diladeni, maka jawaban bareng kita pasti kompak seperti ini : “Kedua-duanya benar !”, karena kata-kata “uq’ud” merupakan fi’l amr ( bentuk imperatif / perintah ) dari qo’ada ﹹ , qu’ūd dan begitu juga halnya dengan kata-kata “ijlis” dari jalasa ﹻ , julūs yang kedua-duanya berarti “duduk”. The answer is absolutely … right, kan ? Kita …, gitu loh !
Shobron ya ikhwah !. Tetapi ada juga lho yang menjawabnya begini : “Ya …, tergantung lah !”. Lho kok ? Menurut orang ini, ‘Ali ‘bnu Bāli al-Qosthonthīni dalam bukunya “Khoiru ‘l-Kalām fi ‘t-Taqosh-shi ‘an Aghlāthi ‘l-‘Awām“ ( Dār ar-Risālah, Beirut, 1983 ) bahwa perintah “uq’ud” khusus ditujukan untuk orang yang sedang berdiri agar duduk. Sedangkan perintah “ijlis” hanya diberikan untuk orang yang sedang berbaring ( atau yang berposisi mirip itu ) agar duduk. “Fa inna ‘l qu’ūda : al-intiqōlu min ‘uluww ilā sufl, wa ‘l-julūsa bi ‘l-‘aks” katanya, yang artinya : “Karena kata-kata qu’ūd mengandung arti perpindahan dari posisi atas ke posisi bawah, sedangkan kata-kata “julūs” merupakan kebalikannya. Jadi, berbeda kan ? Ya beda baaanget. OK, kalo gitu … please Sit down deh, eeeh … Take a seat lah !
Komentar Terbaru