16
Nov
08

Serap-menyerap Kata

( 3 )   Menuntut  “ilmu”  itu  “fardu”  lho …

Bersamaan dengan masuknya agama Islam ( dengan al-Qur’an dan as-Sunnah yang berbahasa Arab sebagai sumber hukumnya ) ke Indonesia, maka mulailah kata-kata Bahasa Arab terserap kedalam Bahasa Indonesia ( pada awalnya secara tidak sistimatis ), … tak terbilang banyaknya.

Maka kata-kata semisal : azab, khilaf dan ikhlas, lalu … kiamat, rahmat dan jum’at, kemudian … ilmu, waktu dan fardu mulai ramai digunakan orang dalam keseharian berbahasa mereka. Tapi nanti dulu, cermatilah sembilan kata serapan yang saya kelompokkan menjadi tiga itu. Ada yang aneh … ? Tidak, itulah hasil dari sistimatika penyerapan (?) yang telah tercipta.

Pedoman umum : Sebuah kata Bahasa Arab biasanya diucapkan dengan cara mematikan bunyi huruf akhirnya seperti pada bacaan waqf. Maka kata-kata azābun, salāmun dan rohmatun diucapkan sebagai : azāb, salām dan rohmah. Pola inilah yang kemudian digunakan untuk menyerap kata-kata Bahasa Arab diatas dengan penyesuaian disana-sini. Lalu jadilah seperti berikut : azab, salam dan rahmat.

Kata-kata yang diserap itu dikelompokkan menjadi 3 ( tiga ).

Kelompok pertama : Kata-kata yang berhuruf akhir bukan hā’ ( tā’ marbūthoh ). *) Kata-kata ini dilafalkan dan ditulis dengan mematikan ( memberi harakah sukun pada ) huruf akhirnya seperti pada bacaan waqf dalam ilmu tajwid, contohnya adalah kata-kata azab, khilaf dan ikhlas diatas.

*) Sebagian ahli menyebut hā’ ( / ) ini sebagai : tā’ at-ta’nīts al-mutaharrikah al-muta’akh-khiroh atau hā’ at-ta’nīts ( lihat kitab an-Nāhw al-Wāfī, Abbās Hasan, Dār al-Ma’ārif, jilid 1, hal. 50, catatan kaki 1 ). Di kita, orang lebih mengenalnya dengan tā’ marbūthoh atau tā’u ‘l-muannats.

Kelompok kedua : Kata-kata yang berhuruf akhir hā’ ( tā’ marbūthoh ). Kata-kata ini dilafalkan dan ditulis dengan merubah huruf akhir hā’ ( tā’ marbūthoh ) itu menjadi t, seperti pada kata-kata kiamat, rahmat dan jum’at diatas.

Untuk yang ini saya malah lebih cenderung untuk mengganti huruf akhir hā’ ( tā’ marbūthoh ) itu menjadi h, sehingga menjadi kiamah, rahmah dan jum’ah, yang sinkron dengan hukum bacaan waqf. Dan yang aneh malah justru pola terakhir ini disahkan untuk kata-kata semisal :  fitrah, sedekah dan umroh. Atau barang kali karena kata-kata ini termasuk dalam koridor “terminologi agama” ?. ( Akan ada pembahasan lebih lanjut pada tulisan bertajuk “Ayah-ayah Cinta”, in syā-a ‘llōh )

Kelompok ketiga : Kata-kata yang dua huruf akhirnya adalah konsonan, seperti ‘ilm, waqt dan fard. Mungkin karena secara fonetis kata-kata ini sulit dilafalkan oleh lidah kita dan Bahasa Indonesiapun tidak mengenal pola ini, maka diambillah kata-kata aslinya secara utuh ( lengkap dengan dhommah / dhommatain-nya ) sebagai kata serapan yang baku … et le voilá ! Jadilah : ilmu, waktu dan fardu.

Untuk yang ini saya malah punya tiga catatan :

1. Kalaulah kata-kata seperti fard bisa menjadi fardu dan seterusnya, lalu bagaimana dengan kata-kata : aqd, makr dan sobr yang berpola sama. Mengapa yang muncul malah : akad, makar dan sabar bukannya akdu, makru dan sobru ? Coba kita tanya pada rumput yang bergoyang.

2. Saya jadi ingat dan kasihan pada seorang teman yang telah menjadi korban dari kata-kata ilmu ini. Ceritanya begini : bagaikan seorang orator, tokoh kita yang ketua osis ini dalam pidato perpisahan sekolahnya menerangkan tentang pentingnya ilmu. Dengan lantang dan fasihnya ia menukil hadits (?) Nabi SAW. sbb. : “Man arōda ‘d-dun-yā fa ‘alaihi bi ‘l-‘ilmu, wa man arōda ‘l-ākhirota fa ‘alaihi bi ‘l-‘ilmu, wa man arōda-humā fa ‘alaihi bi ‘l-‘ilmu. Seluruh hadirinpun bertepuk tangan, riuh sekali. Teman yang mengundang terheran-heran melihat saya hanya tersenyum kecut. Kenapa … ada yang aneh ? Ah tidak, cuma heran pada kata-kata ilmu itu saja kok, jawabku mengelak.

Kasihan singa podium kita ini, … mungkin terjemahan potongan hadits yang berbunyi : “haruslah dengan ilmu” itu agak mengacaukan memory-nya, sehingga sebanyak tiga kali ia mengucapkan “fa ‘alaihi bi ‘l-‘ilmu dengan keliru tanpa menyadarinya barang sedikit. Memangnya ada yang salah ? ya … iya dong. Mestinya ia mengucapkannya begini : “fa ‘alaihi bi ‘l-‘ilmiatau “fa ‘alaihi bi ‘l-‘ilmbaru benar. Sumpah, ini benar-benar terjadi puluhan tahun yang lalu, bukan cerita fiksi.

3. Dulu saya pernah mengganggu seorang teman yang guru bahasa arab. buku “ilmu nahwu” miliknya yang menggunakan Bahasa Indonesia, judulnya saya coret dengan kapur tulis. Ketika ia protes dengan amat marah, saya katakan bahwa judul bukunya memang salah. Ia tidak terima dan merasa tak ada yang salah. Lalu di atas secarik kertas saya buat sebuah tulisan berhuruf arab yang transkripnya begini : “ ilmu ‘n-nahwi “. Setelah membaca iapun tersenyum kecil dan segera berlalu dengan agak malu, hi..hi..hi. What’s the difference ?


0 Tanggapan to “Serap-menyerap Kata”



  1. Tinggalkan sebuah Komentar

Tinggalkan komentar


Ingat Waktu !

Demi Masa

Kategori

Blog Stats

  • 6.185 hits
November 2008
S S R K J S M
 12
3456789
10111213141516
17181920212223
24252627282930