Arsip untuk November, 2008

17
Nov
08

Moso’ Paling Super sih ?

( 4 )   Apa  ada  sesuatu  yang  “paling akbar” … ?

“Bunga melati itu cantik, sedangkan teratai lebih cantik, tetapi mawar paling cantik. Hanya dengan menambahkan kata-kata “lebih” atau “paling” didepan sebuah kata sifat, kita sudah dapat menggambarkan tingkat kecantikan ketiga bunga tadi dalam Bahasa Indonesia. Awalan “ter+” kadang digunakan untuk menggantikan kata-kata “paling” seperti dalam kata tercantik. Begitu juga halnya dengan Bahasa Inggris, cukup hanya dengan menambahkan “…+er / more …” atau “…+est / most …” pada sebuah adjective, maka jadilah bentuk comparative dan superlative.

Adapun dalam Bahasa Arab, kita tidak diminta untuk menambahkan sesuatu pada kata sifat, melainkan harus merubah kata sifat itu sendiri kedalam bentuk khusus yang bernama “ismu ‘t-tafdhīl” ( noun of preference / elative ) berpola : af’alu seperti : akbaru / akbar ( dari akar kata ka-bu-ro yang berarti : besar ). Yang istimewa adalah “ismu ‘t-tafdhīl” yang hanya satu pola ini justru digunakan untuk dua pemakaian : bentuk comparative dan superlative sekaligus. Artinya : kata-kata akbar itu dapat diterjemahkan menjadi “lebih atau paling besar“ tergantung pada susunan kalimatnya ( siyāqu ‘l-kalām ).

Kata-kata akbar yang berarti : “lebih besar“ atau “paling besar“ setelah terserap ke dalam Bahasa Indonesia justru mengalami pergeseran makna yang cukup signifikan. Cermati ungkapan ini : “Rapat / pertunjukan / konser paling akbar ini terselenggara atas …. “ dst. Jadi apa pula maunya kalimat ini … ?  Sebentar, satu lagi menunggu dibawah … !

4.a. Kedua  sahabat  “karib”  itu  ingin  hubungan  mereka  bisa  “lebih  akrab”

Ungkapan diatas yang menjadi judul tulisan ini bikin kita garuk-garuk kepala. Kenapa tidak …, karena kata akrab ( dari kata qoruba, kata sifatnya adalah qorīb artinya : dekat ) adalah bentuk “ismu ‘t-tafdhīl” yang disini bermakna comparative, artinya adalah : lebih dekat. Jadi, mengapa tidak ditulis saja … ingin hubungan mereka bisalebih karib”, bukankah kata karib sudah jadi Bahasa Indonesia ?. Oalaah, bingung … bingung.

4.b. “Syair-syair  penyair”  muda  itu  sangat  menggugah

Buat yang tidak atau belum akrab dengan Bahasa Arab, judul tulisan diatas mungkin akan terbaca atau terdengar biasa saja. Tetapi buat mereka yang mengigaunya saja dengan Bahasa Arab, wah … bisa bikin telinga jadi gatal. Pourquoi … ?

Pada tulisan sebelumnya telah disinggung bahwa sebuah kata yang terserap ke dalam bahasa lain, bisa saja mengalami pergeseran makna yang kadang sangat mengganggu, terutama bila kata-kata itu dibaca atau didengar oleh mereka yang telah terbiasa akrab dengan makna kata-kata itu pada bahasa aslinya.

Kata ”syair” dalam Bahasa Arab termasuk kategori ”ismu ‘l-fā’il” ( nomen agentis / active participle ) yang menunjukkan arti pelaku atau orang yang melakukan sesuatu. Jadi kata-kata ”syair” ( syā’ir ) yang berakar pada kata sya-‘a-ro ( membuat puisi ) artinya adalah “pembuat puisi” ( penyair ), sedang kata-kata “puisi” itu sendiri Bahasa Arabnya adalah ”syi’r”. Jadi judul tulisan ini kalau mau di-arab-kan menjadi “Syi’r-syi’r ( jama’nya : asy‘ār ) syā’ir” muda itu sangat menggugah. Hayo … bingung kan ? Makanya … telinga ini jadi gatal.

16
Nov
08

Serap-menyerap Kata

( 3 )   Menuntut  “ilmu”  itu  “fardu”  lho …

Bersamaan dengan masuknya agama Islam ( dengan al-Qur’an dan as-Sunnah yang berbahasa Arab sebagai sumber hukumnya ) ke Indonesia, maka mulailah kata-kata Bahasa Arab terserap kedalam Bahasa Indonesia ( pada awalnya secara tidak sistimatis ), … tak terbilang banyaknya.

Maka kata-kata semisal : azab, khilaf dan ikhlas, lalu … kiamat, rahmat dan jum’at, kemudian … ilmu, waktu dan fardu mulai ramai digunakan orang dalam keseharian berbahasa mereka. Tapi nanti dulu, cermatilah sembilan kata serapan yang saya kelompokkan menjadi tiga itu. Ada yang aneh … ? Tidak, itulah hasil dari sistimatika penyerapan (?) yang telah tercipta.

Pedoman umum : Sebuah kata Bahasa Arab biasanya diucapkan dengan cara mematikan bunyi huruf akhirnya seperti pada bacaan waqf. Maka kata-kata azābun, salāmun dan rohmatun diucapkan sebagai : azāb, salām dan rohmah. Pola inilah yang kemudian digunakan untuk menyerap kata-kata Bahasa Arab diatas dengan penyesuaian disana-sini. Lalu jadilah seperti berikut : azab, salam dan rahmat.

Kata-kata yang diserap itu dikelompokkan menjadi 3 ( tiga ).

Kelompok pertama : Kata-kata yang berhuruf akhir bukan hā’ ( tā’ marbūthoh ). *) Kata-kata ini dilafalkan dan ditulis dengan mematikan ( memberi harakah sukun pada ) huruf akhirnya seperti pada bacaan waqf dalam ilmu tajwid, contohnya adalah kata-kata azab, khilaf dan ikhlas diatas.

*) Sebagian ahli menyebut hā’ ( / ) ini sebagai : tā’ at-ta’nīts al-mutaharrikah al-muta’akh-khiroh atau hā’ at-ta’nīts ( lihat kitab an-Nāhw al-Wāfī, Abbās Hasan, Dār al-Ma’ārif, jilid 1, hal. 50, catatan kaki 1 ). Di kita, orang lebih mengenalnya dengan tā’ marbūthoh atau tā’u ‘l-muannats.

Kelompok kedua : Kata-kata yang berhuruf akhir hā’ ( tā’ marbūthoh ). Kata-kata ini dilafalkan dan ditulis dengan merubah huruf akhir hā’ ( tā’ marbūthoh ) itu menjadi t, seperti pada kata-kata kiamat, rahmat dan jum’at diatas.

Untuk yang ini saya malah lebih cenderung untuk mengganti huruf akhir hā’ ( tā’ marbūthoh ) itu menjadi h, sehingga menjadi kiamah, rahmah dan jum’ah, yang sinkron dengan hukum bacaan waqf. Dan yang aneh malah justru pola terakhir ini disahkan untuk kata-kata semisal :  fitrah, sedekah dan umroh. Atau barang kali karena kata-kata ini termasuk dalam koridor “terminologi agama” ?. ( Akan ada pembahasan lebih lanjut pada tulisan bertajuk “Ayah-ayah Cinta”, in syā-a ‘llōh )

Kelompok ketiga : Kata-kata yang dua huruf akhirnya adalah konsonan, seperti ‘ilm, waqt dan fard. Mungkin karena secara fonetis kata-kata ini sulit dilafalkan oleh lidah kita dan Bahasa Indonesiapun tidak mengenal pola ini, maka diambillah kata-kata aslinya secara utuh ( lengkap dengan dhommah / dhommatain-nya ) sebagai kata serapan yang baku … et le voilá ! Jadilah : ilmu, waktu dan fardu.

Untuk yang ini saya malah punya tiga catatan :

1. Kalaulah kata-kata seperti fard bisa menjadi fardu dan seterusnya, lalu bagaimana dengan kata-kata : aqd, makr dan sobr yang berpola sama. Mengapa yang muncul malah : akad, makar dan sabar bukannya akdu, makru dan sobru ? Coba kita tanya pada rumput yang bergoyang.

2. Saya jadi ingat dan kasihan pada seorang teman yang telah menjadi korban dari kata-kata ilmu ini. Ceritanya begini : bagaikan seorang orator, tokoh kita yang ketua osis ini dalam pidato perpisahan sekolahnya menerangkan tentang pentingnya ilmu. Dengan lantang dan fasihnya ia menukil hadits (?) Nabi SAW. sbb. : “Man arōda ‘d-dun-yā fa ‘alaihi bi ‘l-‘ilmu, wa man arōda ‘l-ākhirota fa ‘alaihi bi ‘l-‘ilmu, wa man arōda-humā fa ‘alaihi bi ‘l-‘ilmu. Seluruh hadirinpun bertepuk tangan, riuh sekali. Teman yang mengundang terheran-heran melihat saya hanya tersenyum kecut. Kenapa … ada yang aneh ? Ah tidak, cuma heran pada kata-kata ilmu itu saja kok, jawabku mengelak.

Kasihan singa podium kita ini, … mungkin terjemahan potongan hadits yang berbunyi : “haruslah dengan ilmu” itu agak mengacaukan memory-nya, sehingga sebanyak tiga kali ia mengucapkan “fa ‘alaihi bi ‘l-‘ilmu dengan keliru tanpa menyadarinya barang sedikit. Memangnya ada yang salah ? ya … iya dong. Mestinya ia mengucapkannya begini : “fa ‘alaihi bi ‘l-‘ilmiatau “fa ‘alaihi bi ‘l-‘ilmbaru benar. Sumpah, ini benar-benar terjadi puluhan tahun yang lalu, bukan cerita fiksi.

3. Dulu saya pernah mengganggu seorang teman yang guru bahasa arab. buku “ilmu nahwu” miliknya yang menggunakan Bahasa Indonesia, judulnya saya coret dengan kapur tulis. Ketika ia protes dengan amat marah, saya katakan bahwa judul bukunya memang salah. Ia tidak terima dan merasa tak ada yang salah. Lalu di atas secarik kertas saya buat sebuah tulisan berhuruf arab yang transkripnya begini : “ ilmu ‘n-nahwi “. Setelah membaca iapun tersenyum kecil dan segera berlalu dengan agak malu, hi..hi..hi. What’s the difference ?

13
Nov
08

Rohim atau Rohmi sich ?

( 2 )   “Hubungan  Kekeluargaan”  itu  akhirnya  ter-rehabilitir  juga

Setiap kali ada kegiatan pertemuan, kumpul-kumpul, temu-kangen atau acara pulang mudik maka ungkapan “silaturrahmi / silaturrohmi” pastilah bakal menjadi sajian menu utamanya. Dan hal itu sudah berlangsung laamaa … sekali tanpa ada perubahan, dan selama itu pula tak ada seorangpun yang sempat memikirkan nasib si “silaturrahmiyang sebenarnya telah diperlakukan secara salah dan keliru. Baru pada dasa warsa ini banyak yang mulai tersadar dan secara perlahan me-rehabilitir nama si “silaturrahmi” ini. Jazaahumu ‘lloh khoiron. ( Maaf penulisan “silaturrahmi” ini masih mengikuti pola yang biasa dipakai di web-web ).

Dalam Bahasa Arab, dari akar kata “ro-hi-ma” tak pernah terlahirkan kata-kata “rohm” yang kemudian membentuk kata majemuk “silaturrohmi” itu. Yang ada hanya kata “rohim” dan padanannya “rihm” yang makna dan artinya cocok untuk ungkapan yang berhulu dari hadits rosul SAW. itu. ( Lihat kamus Lisānu ‘l-‘arob, Ibn Manzhūr, Dār al-Ma’ārif, hal. 1611 – 1614 ). Alhasil … kini mulai banyaklah orang-orang yang lidahnya sudah mulai terbiasa melafalkan ungkapan yang sahih yaitu : “silaturrahim / silaturrohim” ( silatu ‘r-rohim / silat al-rohim ). Selamat datang kembali anak yang tersesat.

“Dan”  itu  ya …  “Wa”  itu

Sebuah ungkapan surgawi ( “silaturrahim / silaturrohim / silatu ‘r-rohim / silat al-rohim ) baru saja ter-rehabilitir setelah ratusan tahun terzholimi, kini muncul sebuah ungkapan qur’āni lain yang kembali dizholimi, dan kali ini kebetulan dilakukan oleh mereka yang terbilang awam. Tapi malangnya kesalahan ini terus diikuti secara buta dan ni’mat oleh orang banyak. Ungkapan itu adalah : “mawaddah dan wa rohmah” ( bandingkan dengan potongan ayat ke-21 surah ar-rūm ). Dimana kelirunya … ?

Kecil itu indah tapi bisa merusak juga lho. Buktinya kehadiran kata “dan“ yang kecil itu dalam ungkapan diatas justru sangat amat mengganggu. Kenapa … ? Karena kata “dan“ itu sendiri sebenarnya sudah merupakan arti, makna atau terjemahan dari kata “wa“ yang sudah hadir dalam ungkapan qur’ani itu sejak 15 abad yang lalu. Jadi kehadirannya disitu malah merusak dan hanya bikin kotor saja bahkan boleh dianggap menambah-nambah pada ayat al qur’an lho !. Iya apa iya … ?

08
Nov
08

ramai-ramai menyelamatkan si “al-”

( 1 )   “Al”  yang  terbuang  secara  “zholim”

Bagi para peminat Bahasa Arab, apa fungsi, makna dan bagaimana “al” ( alif lām at-ta’rīf / determinative “al” ) itu digunakan dalam susunan kata bukanlah barang aneh. Yang aneh adalah bagaimana “al” kemudian begitu terzholimi oleh (sebagian) mereka yang sebenarnya suhunya Bahasa Arab dalam tutur dan/atau tulisan mereka sehari-hari. Ironisnya kemudian hal ini dibebeki secara buta oleh yang awam dan bukan awam pula. Apa ada yang salah … ? Sangat !

Tengok bagaimana “al” yang sudah terpateri dalam kata majemuk baku dan populer bahkan menjadi judul buku-buku klasik ini kemudian terbuang secara zholim dari kata pertama pada kata majemuk berikut : ( sebagai contoh saja )

Yang benar dan baku                                                   Yang dituturkan / ditulis

al-asma-ul husna                                                           asma-ul husna ( tanpa “al” )

al-shirothul mustaqim ( baca : “as”)                               shirothul mustaqim ( tanpa “al / as” )

al-akhlaqul karimah                                                        akhlaqul karimah ( tanpa “al” )

al-habbatus sauda’                                                        habbatus sauda’ ( tanpa “al” )

al-mishbahul munir                                                         mishbahul munir ( tanpa “al” )

Catatan :

Tidak termasuk dalam kategori ini kata-kata “ayyāmul bīdh” ( hari ke-13, 14 dan 15 dari bulan-bulan qomariyah ). Karena kata-kata “ayyāmu ‘l-bīdh” ( bukan al-ayyāmu ‘l-bīdh ) berasal dari “ayyāmu ‘l-layāli ‘l-bīdh” ( lihat kitab al-Majmū’, an-Nawawī, jilid 6 hal. 355 ).

1.a. “Al”  yang  selalu  kita  tuliskan  pada  tempat  yang  salah

Pada tulisan yang lalu kita telah mengadvokasi “al” yang terzholimi dalam susunan kata majemuk berpola ‘Maushūf-Shifah’ ( Diterangkan-Menerangkan ). Kali ini kita akan menyelamatkan “al” dari posisinya yang selama ini – tanpa sadar – kita tuliskan secara keliru dan salah pada susunan kata majemuk berpola ‘Idhōfah’ ( genitive construction ) seperti pada : ( sebagai contoh saja )

Yang kita tuliskan secara keliru      Seharusnya tertulis

abdul ghoni                                    abdu ‘l-ghoni    atau   abd  al-ghoni

darul kutub                                     daru  ‘l-kutub    atau   dar  al-kutub

nurul qomar                                    nuru  ‘l-qomar  atau   nur  al-qomar

Penjelasan :

Pada pola ini, “al” itu wajib hukumnya menempel lekat pada kata kedua ( Mudhōf ilaih ) seperti al-ghoni, al-kutub dan al-qomar, bukan meng-ekor pada kata pertama ( Mudhōf ) seperti abdul, darul dan nurul. Sayangnya, yang sampai saat ini masih dan tetap diyakini oleh awam adalah bahwa ”al” merupakan bagian ( tak terpisahkan ) dari kata pertama ( akibat pola penulisan kita yang keliru tadi ), sehingga akhirnya muncul nama-nama yang hanya mengambil potongan pertama saja dari kata majemuk tadi, seperti : Abdul, Syahrul, Zainal, Nurul dan seterusnya.

1.b. “Al”  yang  biasa  ditulis  di  tempat  salah  itu  membuatku  susah

Kok bisa ? Ya … sangat bisa. Dulu sekali sebelum ada chi-writer atau windows arabic, saya biasa diminta menuliskan nama diri atau nama lembaga dengan khot / kaligrafi arab. Nggak ada masalah kan ? Ya iya untuk nama-nama seperti : Abdul Jalil, Zainal Abidin, Baitul Ikhlas atau Nahdhotul Ulama’. Tetapi begitu disodorkan nama-nama seperti ( sebagai contoh saja ) : Paula Abdul, Saiful Pratama atau Siti Nurul … maka matilah awak. Mengapa ? Lho kok nanya. Hayo tolong saya … dimana saya harus menuliskan huruf-huruf “al” dari nama-nama Abdul , Saiful atau Nurul … ini ?

Catatan :

Tidak termasuk dalam konteks ini nama-nama seperti : Faisal, Kamal, Jalal dan beberapa yang lainnya lagi, karena “al” disini adalah huruf-huruf asli dari kata-kata tersebut. Wallōhu a’lam bi ‘sh-showāb.




Ingat Waktu !

Demi Masa

Kategori

Blog Stats

  • 6.183 hits
November 2008
S S R K J S M
 12
3456789
10111213141516
17181920212223
24252627282930