Arsip untuk Maret, 2009

17
Mar
09

uq’uduu … yaa hadhrot al-habaaib

(4)  “ Habā-ib ” (?)  dalam  bejibunnya  bentuk-bentuk  “ jam’u ‘t-taksīr ”

Dalam pembelajaran bab “jam’u ‘t-taksīr” yang lumayan banyak macamnya itu, ketika sampai pada pembahasan wazn “fa-’ā-il”, kamipun diberikan bermacam-macam contohnya, seperti : ro-sā-il ( dari bentuk mufrod risālah ), sho-hā-if ( dari bentuk mufrod shohīfah ) dan ‘a-jā-iz ( dari bentuk mufrod ‘ajūz / perempuan tua ). Lalu sang pengajar bertanya tentang bentuk mufrod dari kata-kata “habā-ib” yang dengan entengnya dijawab oleh para murid dalam sebuah koor yang amat kompak : “habīb” !. Dan sang gurupun manggut-manggut bahagia tanda setuju. Is it all and so simple ? Kayaknya perlu tadqīq dan tahqīq nih ?

Dalam kitabnya “Al-Faishol fī Alwāni ‘l-Jumū’“ ( Dāru ‘l-Ma’ārif, Mesir ) pada halaman 79-82 ( al-binā’ ats-tsāmin ‘asyar : fa-’ā-il ), halaman 123 ( jam’u ‘l-muannats minhu bi ‘l-alifi wa ‘t-tā’, wa ‘alā fa-’ā-il )  dan pada halaman 165-168 ( fashl fī asmā’ lā tukassar illa ‘alā fa-’ā-il ), sang pengarang, ‘Abbās abu ‘s-Sa’ūd dengan rujukan kitab-kitab : Alfiyah, Syarh al-Mufash-shol, Syarh Ibn Ya’īsy dll. ada mengupas secara tuntas pembahasan wazn “fa-’ā-il” ini yang ringkasannya sebagai berikut :

Wazn “fa-’ā-il” dipakai sebagai patokan/pola/model untuk bentuk jam’u ‘t-taksīr yang berasal dari setiap bentuk mufrod berikut ini dengan syarat dan ketentuan khusus, yaitu :

1. Rubā’ī ( terdiri dari empat huruf ) yang huruf ketiganya adalah huruf MAD,

2. MUANNATS,

3. bisa berakhiran dengan huruf HĀ’ ( tā’ ) marbūthoh dengan lima wazn/pola, seperti :

a. fa-‘ā-laH contohnya   : sya-hā-daH, jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : sya-hā-id

b. fi-‘ā-laH contohnya   : ri-sā-laH,       jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : ro-sā-il

c. fu-‘ā-laH contohnya   : qu-lā-maH, jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : qo-lā-im ( potongan )

d. fa-‘ū-laH contohnya   : ha-mū-laH, jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : ha-mā-il ( unta hamil )

e. fa-‘ī-laH contohnya   : ‘a-qī-daH, jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : ‘a-qō-id.

4. bisa TIDAK berakhiran dengan huruf HĀ’ ( tā’ ) marbūthoh dengan lima wazn/pola, seperti :

a. fi-‘ā-l contohnya   : syi-nā-th,       jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : sya-nā-ith ( perempuan mulus )

b. fa-‘ā-l contohnya   : sya-mā-l, jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : sya-mā-il ( angin dari utara )

c. fu-‘ā-l contohnya   : ‘u-qō-b, jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : ‘a-qō-ib ( burung buas )

d. fa-‘ū-l contohnya   : ‘a-jū-z, jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : ‘a-jā-iz ( perempuan tua )

e. fa-‘ī-l contohnya   : sa-‘ī-d, jam’u ‘t-taksīr-nya  adalah     : sa-‘ā-id ( nama perempuan )

( Kelompok ini tetap dipersyaratkan harus berbentuk MUANNATS TA’NĪTSAN  MA’NAWIYYA )

Kesimpulan :

1.  jadi, dengan syarat nomor 2 atau nomor 4 saja ( yang mengharuskan bentuk MUANNATS ), maka kata-kata “habāib” yang ‘alā wazn “fa-’ā-il ” itu adalah tidak mungkin merupakan  jam’u ‘t-taksīr dari kata-kata “habīb”, karena lafzh “habīb” jelas-jelas adalah MUDZAKKAR.

2.  bila mencari dalam kamus-kamus besarpun kita baru dapat menemukan kata-kata “habāib” pada bentuk jam’ dari entri kata “habībaH” yang MUANNATS ( syarat nomor 3.e. diatas terpenuhi ).

3.  sedang bentuk jam’ dari entri kata “habīb” yang kita temukan di kamus-kamus tadi adalah : ahibbā’, ahibbah, dan ahbāb, serupa dengan kata-kata syadīd, kholīl, thobīb, ‘azīz, dan jalīl ( kesemuanya adalah  mudho’’af ) yang bentuk jam’-nya adalah : asyiddā’ ( surah al-Fath : 29 ) , akhillā’ ( surah az-Zukhruf : 67 ), athibbā’, a’izzā’, dan ajillā’. ( lihat buku al-Faishol fī Alwāni ‘l-Jumū’ diatas pada halaman 74 dalam pembahasan al-binā’ as-sādis ‘asyar : af-‘i-lā’)

Ketika sedang mumet-mumetnya menyusun tulisan ini, tiba-tiba terdengar alunan merdu suara Farīd al-Athrosy, penyanyi Mesir asal Libanon yang mendendangkan sebuah lagu lawas bertajuk : habāibi yā ghōibīn”. Hal ini mengingatkan saya pada sepotong kata yang sama berbunyi “… l-ajli ‘l-habāib dari lagu “Wahasy-tūnī” yang biasa dilantunkan oleh biduan terkenal Mesir asal Aljazair, Wardah al-Jazāiriyah. Dalam  kedua lagu ( dalam logat ‘amiyah masriyah ) tadi terdapat kata-kata habāib yang berarti para kekasih ( baik laki-laki maupun perempuan ). Maka hati inipun jadi tenang dan riang lagi deh.  Oh … yā habāibi, wahasy-tūnī  ‘awi, law aghommad wa afattah, lā’īkum gāiyīn, gāiyīn.

(5)  “ Duduklah … ! “  bahasa  arabnya  apa  ya  ?,  “ uq’ud ! ”  atau  “ ijlis ! ”  ?

Jika pertanyaan diatas yang menjadi judul tulisan ini harus diladeni, maka jawaban bareng kita pasti kompak seperti ini : “Kedua-duanya benar !”, karena kata-kata “uq’ud” merupakan fi’l amr ( bentuk imperatif / perintah ) dari qo’ada , qu’ūd dan begitu juga halnya dengan kata-kata “ijlis” dari jalasa , julūs yang kedua-duanya berarti “duduk”. The answer is absolutely … right, kan ?  Kita …, gitu loh !

Shobron ya ikhwah !. Tetapi ada juga lho yang menjawabnya begini : “Ya …, tergantung lah !”. Lho kok ? Menurut orang ini, ‘Ali ‘bnu Bāli al-Qosthonthīni dalam bukunya “Khoiru ‘l-Kalām fi ‘t-Taqosh-shi ‘an Aghlāthi ‘l-‘Awām“ ( Dār ar-Risālah, Beirut, 1983 ) bahwa perintah  “uq’ud” khusus ditujukan untuk orang yang sedang berdiri agar duduk. Sedangkan perintah “ijlis” hanya diberikan untuk orang yang sedang berbaring ( atau yang berposisi mirip itu ) agar duduk. “Fa inna ‘l qu’ūda : al-intiqōlu min ‘uluww ilā sufl, wa ‘l-julūsa bi ‘l-‘aks” katanya, yang artinya : “Karena kata-kata qu’ūd mengandung arti perpindahan dari posisi atas ke posisi bawah, sedangkan kata-kata “julūs” merupakan kebalikannya. Jadi, berbeda kan ? Ya beda baaanget. OK, kalo gitu … please Sit down deh, eeeh … Take a seat lah !

17
Mar
09

berbahasa sambil tersenyum

(1)  antara  “petani”   dan    “tikus  yang  numpang  lewat”

 

         alkisah, suatu hari seorang pengawas pendidikan sedang mengadakan sidak ( inspeksi mendadak ) ke sebuah sd di pinggiran kota cairo. sang penilik secara acak langsung masuk ke ruang kelas 4 yang kebetulan sedang belajar bahasa inggris.

 

         setelah sedikit basa-basi, beliaupun mengajukan beberapa pertanyaan berupa test kosa-kata dasar bahasa inggris kepada para murid. “bahasa inggrisnya mudarris ( guru ) apa ?” tanyanya yang langsung dijawab oleh murid yang duduk paling depan : “teacher !”. “good !” kata si penilik. dan setelah mengajukan kira-kira 5 buah pertanyaan yang kesemuanya dijawab dengan cermat dan benar oleh para murid, akhirnya sang penilik memberikan pertanyaan pamungkasnya : “apa bahasa inggrisnya fallāh ( petani ) ?”.  seisi kelas terdiam, tak ada yang dapat menjawab. beberapa menit berlalu terasa sangat lambat, pak gurupun mulai gelisah dan meneteskan keringat dingin. tetapi tiba-tiba, seorang siswi tambun yang duduk di baris paling belakang mengangkat tangannya sambil berteriak keras : “fa’r  marr !”. “ahsant ! ( bagus )” kata si penilik yang merasa mendengar kata “farmer” diucapkan dan langsung menyalami sang guru seraya memujinya. seisi kelaspun sontak gembira meski agak sedikit bingung dengan kejeniusan si gendut yang tiba-tiba itu.

 

         usut punya usut, rupanya si jenius ( yang sebenarnya agak o’on itu ) ketika meneriakkan kata fa’r marr  sambil mengangkat tangannya bukan untuk menjawab pertanyaan sang penilik, melainkan lantaran saking terkejutnya melihat seekor tikus yang melintas di langit-langit bagian atas papan tulis, ia secara spontan menunjuk ke arah atas sambil meneriakkan kata-kata tadi. maksudnya adalah “ada tikus (fa’r) melintas (marr)“. kedengarannya memang seperti lafal “farmer” kan  ya ?  wéléh wéléh ! bravo gal ! sebuah blessing in disguise kayaknya !.

 

(2)  horree    aku  dapat  kenaikan  pangkat  istimewa  !

 

         orang mesir memang terkenal kepandaiannya dalam “ber-mujāmalah” atau berbasa-basi. apalagi dalam perihal sapa-menyapa terutama dengan orang yang baru dikenal. maka kata-kata indah akan dengan lancar meluncur dari bibir mereka, dan jangan heran bila kelak anda akan disapa dengan sanjungan- sanjungan selangit, semisal : “yā royyīs !” ( wahai presiden ! ), “yā kabtin ! ” ( hai kapten / komandan ) atau “yā afandim” ( wahai tuan yang mulia ! ). bila anda seorang perempuan, berbahagialah dengan teguran-teguran aduhai seperti berikut ini :  yā hilwah” ( hai cantik ! ), “yā amar” ( wahai rembulan ! ), “yā ammūrah” ( wahai tuan puteri ! ) dan seterusnya. iiih … aku jadi tersanjung deh !

 

         seorang prajurit anggota pasukan garuda kita yang berpangkat kopral dan baru bertugas di buffer zone, suez ketika sedang berjalan-jalan di kota cairo dengan berpakaian sipil, menjadi salah tingkah tatkala seseorang mencolek dan menegurnya hangat sambil segera berlalu : “kabtin ! izzayyak ? ” ( hai kapten ! apa kabar nih ? ). sang kopral sambil tersenyum bangga berkata pada rekan di sebelahnya yang berpangkat sersan : yo opo rek, mosok sih aku dada’an naek pangkat langsung dadi kapten ee ! wogé-ér nih yeee ?

 

(3)  heh   isteriku  melahirkan  ???  al-hamdu li ‘llāh  !

 

         bercukur rambut ala dpr ? wah … asyik tuh, apalagi bila dpr ( dibawah pohon rindang )-nya berlokasi di tepi sungai nil yang terkenal jernih dan tenang serta dengan angin semilirnya yang tidak lembab itu, aduh … komplit deh !. coba bandingkan dengan bercukur ala dpr yang ada di taman oerip soemoharjo, jakarta timur atau bahkan yang di sekitar kebon raya bogor !?, pasti sama … yaitu sama-sama mengantukkan alias bikin ngantuk. sudah murah, meriah lagi ( karena ditonton banyak orang yang lalu lalang ).

 

         suatu hari, seorang lelaki gemuk berusia sekitar 30-an sedang terkantuk-kantuk ni’mat ketika bercukur dpr di tepian nil di sekitar kawasan ‘agouzah, guizah ( seberang cairo ). tiba-tiba seorang pemuda gondrong dengan berlari-lari kecil datang menghampiri dan menepuk badan tokoh kita yang rada tambun ini seraya berkata dengan suara tersengal-sengal : “ mitwalli, yallā irga’ ‘awām ( hei mitwalli, ayo cepat pulang ) isterimu mau melahirkan tuh … !”. karena kaget, tanpa berfikir panjang lagi iapun segera beranjak dari kursi cukurnya lalu berlari dengan amat berat. baru beberapa langkah terayunkan iapun segera menghentikannya, lalu berfikir sejenak. kemudian dengan gontainya iapun kembali ke kursi dpr-nya sambil bergumam dan tersenyum kecut  : “ah … bodohnya aku. namaku kan madbūli, bukan mitwalli, lagi pula aku belum menikah, lalu buat apa tadi aku mau pulang segala ?”. aduh, kasian deh … lu, dikerjain orang iseng. makanya … cepat kawin dan suruh isterimu segera melahirkan !. biar ‘nggak kecelé.

 

(4)  pernah  dengar  riwayat  maulid  al-barzanji  “ made  in  japan “ ?

 

         teman-teman mahasiswa asal betawi di cairo biasanya mengadakan pertemuan rutin sebulan sekali. kadang-kadang, acara diisi pula dengan “maulidan” lewat pembacaan “riwayat kelahiran nabi saw.” ( yang

secara keliru disebut dan dikenal dengan istilah pembacaan rawi ).

 

         pada suatu kesempatan pembacaan “rawi” yang berbentuk prosa karya syeikh ja’far al-barzanji, seorang teman yang terkenal bersuara indah dan sangat fasih, diminta untuk membacakan fasal terakhir yang berada persis sebelum fasal yang berisi do’a. ketika kami tengah asyik menikmati merdunya suara si pembaca dan indahnya isi prosa tersebut, tiba-tiba – di bait sebelum terakhir, sebagian hadirin yang eling menangkap sebuah keganjilan pada bacaan teman tadi. jelas saja teman-teman yang mengerti hal ini jadi tersenyum geli, sementara teman-teman lainnya hanya bisa bengong kebingungan melihat sebagian kami pada tersenyum sambil memamerkan gigi betawident-nya. apa pasal ? what’s wrong with this recitation ? makanya lain kali, pada nyimak dong !.

 

         rupanya bait yang seharusnya berbunyi begini : “wa hā hunā waqofa binā jawādu ‘l-maqōli ‘ani ‘t-thirōdi fi ‘l-halbati ‘l-bayāniyah( “sampai disinilah kuda pacu ini menghentikan kita dari terus menebar kata lewat arena lomba yang penuh dengan uraian-uraian indah” ), entah ia sadar atau tidak, satu potong kata terakhir dari bait ini dibaca keliru menjadi : “ …… fi ‘l-halbati ‘l-yābāniyah  yang artinya : “ …… di arena balapan di jepang“. jadi … memang jauh sekali perbedaan artinya, pantaslah kalau sampai bisa membuat kita-kita tersenyum.

 

         sebenarnya teman kita ini tidak dapat dipersalahkan juga –  dia … juga manusia, maka jangan ditusuk dengan pisau belati. ( waktu itu, pada beberapa tahun terakhir, negara mesir memang sedang dilanda badai “demam jepang” sehingga semua berita di segala media selalu dipenuhi dengan kata-kata : “yābān” dan “al-yābāniyah” ( “jepang” dan “yang berbau jepang”). jadi wajar saja bila kerancuan tadi bisa terjadi, karena di benak kitapun setiap hari selalu dijejali dengan kata-kata “yābān” dan “al-yābāniyah” ). mā ‘alisy ba’ā yā akhī, bass syidd heilak. inilah yang disebut dengan slip of the tongue atawe lidah kesrimpet.    

 

(5)  from  pondok  pesantren  ( islamic traditional boarding school )   with  love

 

         karena baru saja mendapat sebuah kata-kata mutiara indah dari pelajaran mahfūzhōt-nya siang tadi, seorang remaja tanggung langsung saja menyambar ballpoint, selembar amplop dan tiga carik kertas merah jambunya. dengan hati yang berbunga-bunga dan senyum ceria yang terus bergelayut di bibirnya, suratpun selesai dibuat dengan tak lupa menyisipkan kata-kata mutiara indah tadi yang menurutnya cocok untuk orang-orang yang sedang kasmaran, sekaligus untuk sedikit “pamer” pada sang pujaan bahwa dirinya mulai “mahir” berbahasa arab.

 

         surat yang “sealed with a kiss”-pun segera dikirim dengan moda kilat tercatat pula. setelah lewat beberapa hari yang menyiksa, balasan yang dinantipun tiba ( sudah barang tentu dengan nama pengirim yang dipalsukan agar lolos sensor ). hatipun deg-deg-plas, berdebar tak karuan. dan dengan bermodal sinar lampu 8 watt, wc yang beraroma alamipun jadi tempat paling aman untuk membaca. selang beberapa menit sang arjunapun keluar dari tempat pertapaannya dengan wajah termehek-mehek, sendu, murung dan pucat pasi bagaikan baru melihat hantu. ada apa gerangan dengan isi surat itu ? the answer is blowin’ in the wind.

 

         rupanya “hubungan diplomatik”-nya baru saja diputuskan oleh sang gadis pujaan yang merasa sangat tersinggung dan diremehkan sekaligus dilecehkan oleh isi kata-kata mutiara sang jejaka ( yang kini sudah di-persona non grata-kan itu ). lho … kok bisa ?  ooh, teganya, teganya, teganya, teganya … pada diriku !

 

         untuk mendapat kejelasan, mari kita simak bersama-sama kata-kata mutiara ( yang berakibat tidak indah itu ) yang telah dikirim oleh sang pangeran. sebuah syi’r berbahasa arab yang sebenarnya hanya terdiri dari dua baris, ternyata … cuma berbunyi begini saja kok :

 

 ahbib habībaka haunan … ‘asā an yakūna baghīdhoka yauman mā,

 wa abghidh baghīdhoka haunan mā …  ‘asā an yakūna habībaka yauman mā”.

artinya :

cintailah kekasihmu sekedarnya saja … khawatir suatu hari ia malah jadi musuhmu,

dan bencilah pada musuhmu sekedarnya saja … khawatir suatu hari ia malah jadi kekasihmu”

 

         bagaimana ? siapa yang salah … sang romeo, sang juliet atau kedua-duanya ?. andalah yang menilai dan keputusan anda tidak dapat diganggu gugat. buat sang arjuna, jangan bersedih, kan ada lagu penghibur seperti ini : putus-nyambung, putus-nyambung, putus-nyambung, putus-nyambung !. semoga aja ya ! don’t ever give up, man ! gitu aja kok repot ?!

 

(6)  ta’līm  al-lughoh  al-‘arobiyyah … li ‘l-athfāl  fi ‘l-bait  !

 

         seorang ayah sedang mengajarkan bahasa arab tingkat dasar kepada putri kecilnya yang masih belajar di tk dengan sangat sabar dan telatén. menurut sang ayah, mengajarkan anak di waktu kecil itu bagaikan mengukir diatas batu, dan karena alasan itu pulalah beliau serius melakoninya.

 

         ketika akan mengakhiri sesi materi “perbedaan antara mudzakkar dan muannats”, sang ayahpun bertanya tentang kata-kata al-midzyā’ ( radio ), apakah termasuk kata-kata mudzakkar ( masculine gender ) atau muannats ( feminine gender ). sang putripun sontak menjawab : “muannats, yah !”. “lho kok muannats sich … nak ?” tanya sang ayah lagi. sang anak yang memang agak lémés inipun segera menukas dengan gayanya sendiri, katanya : “coba aja ayah setel tuh radionya, pasti deh bakal ngoceh dan nyerocos terus, nggak berenti … kayak perempuan gitu !”. sang ayah jadi terbengong-bengong penuh kagum, sedang sang bunda yang sedari tadi cuma khusyuk menyimak, segera beranjak ke arah kulkas untuk mendinginkan hatinya yang sedikit geram. please be cool, mom ! jangan diambil ati dong, emang dia anak siapa sich … ?

 

(7)  i’rōbu ‘l-jumal  ?    uh    amat  boring  and  tiring  deh  ! 

 

         dalam pelajaran bahasa arab, ada satu pembahasan yang selalu bikin hati sebel dan kepala mumet, yaitu mengenai  i’rōbu ‘l-jumlah” ( menguraikan jabatan/kedudukan kata dalam sebuah kalimat ). hampir semua siswa mengeluhkan hal yang satu ini, tanpa kecuali.

 

         di sebuah kesempatan, seorang guru menyuruh salah seorang siswanya untuk meng-i’rōb-kan kalimat berikut : “ yadhribu ‘r-rojulu al-kalba “. sang siswa yang dikenal cukup cerdas dan agak suka nyelenéh ini dengan énténgnya menjawab begini :

 

yadhribu” :  fi’lun mudhōri’, marfū’un bi ‘l-‘ashō.  / “ar-rojulu” :  zhōlim.  / “al-kalba“  :  mazhlūm.

“wa man dhoroba hayawānan dakhola ‘n-nār”  yang artinya :

 

“yadhribu” : fi’l mudhōri’, dengan mengangkat tongkat. / “ar-rojulu” : penganiaya. / “al-kalba“ : teraniaya.

“barang siapa yang memukul binatang ia akan masuk neraka”.

 

padahal i’rōb yang benar mestinya seperti ini  ( ini menurut sang guru lho, bukannya saya ) :

 

yadhribu” : fi’lun mudhōri’, marfū’. / “ar-rojulu” : fā’il, marfū’. / “al-kalba“ : maf’ūlun  bih, manshūb.

 

         sang gurupun hanya geleng-geleng kepala saja mendengan bentuk i’rōb yang aneh tadi, kemudian ia menyuruh si siswa untuk berdiri di pojok sambil mengangkat salah satu kakinya. belum juga lewat 5 menit, tiba-tiba bel tanda istirahatpun berdentang kencang, dan seluruh kelaspun berteriak gembira sambil berhamburan keluar karena baru saja terlepas dari neraka ketakutan.

 

(8)  al-murōsalah  bi  ‘l-‘arobiyyah  ?    why  not  ?    siapa  takut  ! 

 

         belum juga 3 hari ia tinggal ( sementara, sebelum masuk asrama ) di syu’’ah ( apartment ) sumpek kami, matanya sudah kecantol pada kecantikan seorang dara yang tinggal persis di seberang flat kami, mona namanya. ia bahkan telah bertekad ingin mengiriminya surat tanda perkenalan and just saying hello.

 

         karena merasa belum mampu menulis surat berbahasa arab dengan baik dan benar, maka don juan kita inipun membeli buku “al-murōsalah al-‘ashriyyah bi ‘l-‘arobiyyah” ( korespondensi modern dalam bahasa arab ) yang menurut penjualnya merupakan buku best seller saat itu.

 

         setelah menemukan apa yang ia cari, maka sebuah contoh suratpun langsung di-kutib secara utuh dan lengkap, lalu dimasukkan kedalam sebuah amplop yang wangi untuk segera dikirim. esoknya, lewat jasa seorang bawwāb ( portier/penjaga pintu ) apartmentnya, surat itupun langsung sampai di tangan mona.

 

         esoknya lagi, surat balasan yang dinantipun tiba. tetapi kawan kita ini kok malah tampak kecewa berat dan amat terpukul seperti nyaris k.o., ada apa sobat ? broken heart by the first letter, heh ?. rupanya surat mona itu amat jauh dari apa yang diharapkan oleh play boy kita, karena hanya berisi sepotong kalimat doang bo ! ia kemudian menyodorkan lembar surat yang nyaris kosong itu kepadaku. “tolong jelasin dong apa kata yayangku itu”, pintanya pilu. ternyata surat yang cuma sebaris itu memang berbunyi amat menyakitkan, seperti berikut :

 

“iqro’ al-jawāb  minnī  li-risālatik  fi ‘s-shofhah  al-latī   fīhā  risālatuk  fi  nafsi  ‘l-kitāb”, mona.

( baca balasanku untuk suratmu itu di buku yang sama sesudah surat yang kau contek itu, mona )

 

         makanya mas, kalo mau nyontek mbok ya kira-kira dong. akibatnya kan jadi sū-u ‘l-khōtimah gini deh. tapi … jangan dulu down, bro !. rupanya si mona yang cewek mesir itupun memiliki buku yang sama juga buat bahan rujukannya, jadinya kalian draw !  ( wow kaya  al-ahly  vs  zamalek  aja ya )

 

(9)  “ do’a  selamat ”    yang  di-protes  tuan  rumah  

 

         suatu hari, tetangga sebelah rumah mengundang kami untuk acara selamatan salah seorang puteranya yang baru saja dikhitan. kamipun menyempatkan diri untuk menghadiri kenduri ini bersama kira-kira lima belasan orang tetangga lainnya.

 

         acara sederhana ini berjalan cukup khidmat, sampai ketika do’a selamat yang dibacakan oleh seorang sesepuh kampung baru saja sampai pada kalimat “allohumma innā nas-aluka salāmatan fi ‘d-dīn …”, tiba-tiba saja sang tuan rumah yang duduk di sebelah si pembaca do’a segera menukasnya dengan setengah berbisik : “pak, yang dikhitan itu Pirngadi bukan Fidin … !”. merasa ada yang salah, maka do’apun diulang. bunyi do’anyapun berubah menjadi : “allohumma innā nas-aluka salāmatan firngadī …”. āmīn … !, sambut seluruh yang hadir termasuk sang tuan rumah yang kini baru tersenyum bahagia karena puteranya sudah di-dungake.

 

         rupanya tadi, si tuan rumah kurang merasa sreg dengan isi do’a pak tua. ia mengira yang dido’akan adalah si Fidin ( panggilan untuk Rafidin, anak keduanya yang masih kecil ) bukan si Pirngadi, anak yang hari itu disunat, makanya ia melakukan protes keras. padahal arti do’anya kan sudah bagus seperti ini “ya Allah, kami memohon kepadaMU akan keselamatan dalam beragama kami ( fi ‘d-dīn ). oalaah pak…é, pak…é. protes sich protes pak, tetapi do’anya kan jadi kacau begitu !   

 

(10)   hei   kaum  lelaki,  sungguh  miskiiiin “    dech  kamu ! 

 

             kira-kira hanya tinggal 2 halaman lagi buku yang mengasyikkan ini selesai dibaca, seorang teman yang sedari tadi hanya memperhatikan saja, tiba-tiba bertanya : “bang, memangnya kaum lelaki itu pada miskin semua ya ?“lelaki mana maksudmu ?”, aku balik bertanya. “itu, di buku yang sedang abang baca, judulnya kan berkata begitu ?” oooh … ?

 

             judul buku itu adalah “miskīn … ’ālamu ‘r-rujūlah( malangnya dunia lelaki ) karya penulis besar mesir, anis manshour di tahun 70-an. dalam buku lawas itu sebenarnya beliau cuma membeberkan fakta tentang betapa malangnya dunia kaum lelaki dibandingkan dengan dunia kaum wanita dan bukan tentang kemiskinan para lelaki. tengok saja tulisnya, sejak di saat manusia masih belum dilahirkanpun ( ketika masih berbentuk sperma ), nasib si “calon lelaki” sudah jauh lebih malang dari pada nasib “si calon wanita” karena umurnya di dalam rahim jauh lebih singkat dan pendek, sampai … dengan nabi adam as. yang harus diusir tuhan dari surga hanya lantaran ingin menyenangkan hati seorang wanita. iya, kan ?

 

             di mesir-pun, nasib kaum wanitanya sama lebih beruntung. seorang mertua perempuan itu jauh lebih ditakuti ketimbang mertua lelaki, bahkan saking begitu sangat dominan dan otoriternya sehingga titahnya kepada sang menantu tak pernah boleh sampai jatuh ke tanah, tulis buku itu. sampai-sampai ada pemeo yang menggambarkan “kegeraman” para menantu lelaki seperti ini : “ law iltaqoitu bi-tsu’bānin wa hamātī fi waqtin wāhid ( andai aku bertemu dengan  ular  dan  mertua perempuanku  pada waktu yang bersamaan ), maka yang kupukul terlebih dahulu adalah ….… hamātī ( mertua perempuanku ) !” ah … bercanda kamu, mana you berani ? he he he. kasihaaan dech … lo.

 

             sang teman yang baru saja sepekan berada di cairo untuk studi inipun lalu manggut-manggut sambil tersenyum mendengar penjelasanku. “kenapa tersenyum ?” tanyaku heran. “ ’nggak apa-apa, cuma agak malu aja karena … ketahuan bégonya. kirain kata-kata miskīn itu artinya … have nothing alias kéré, gitu ”. “ ‘nggak juga kali, karena kemiskinan itu kan memang sebuah kemalangan yang perlu dikasihani ”, kataku menghibur. it’s all right, guy ! don’t be so unexcited begitu ach !. baru juga seminggu.

 

(11)   ada  “ kutil ”  dalam  film  ………….. “ fajru  ‘l-islām “ ? 

 

         sebelum film kolosal ar-risālah“ yang dibintangi oleh anthony quinn muncul, pernah ada film islami lain yang cukup menyedot perhatian publik, yaitu film fajru ‘l-islām“ ( judulnya diambil dari salah satu “trilogi” kitab sejarah karya prof. ahmad amin : “fajru ‘l-islām“, “dhuha ‘l-islām“ dan zhuhru ‘l-islām“ yang masing-masing terdiri dari 2 jilid ).

 

         karena penasaran, akupun ikut nonton di bioskop “megaria” jakarta, salah satu bioskop kelas satu waktu itu. film dimulai dengan gambar latar belakang padang pasir, pokok-pokok korma, segerombolan unta dan sekumpulan orang-orang arab badwi menjalani kegiatan hidup keseharian mereka di seputar “perkampungan” tenda-tendanya. penonton masih tenang … menunggu adegan-adegan berikutnya.

 

         tiba-tiba terdengar derap keras langkah kaki kuda yang kian mendekat, amat cepat. lalu muncullah sesosok kuda hitam dengan seorang lelaki gagah berjubah gelap diatasnya berteriak lantang : “hasan qutil ! …. hasan qutil ! ….  hasan qutil ! ….”. penonton yang sedikit terperangah dan mulai cekikikan karena tidak mengerti makna teriakan tadi terus menunggu teks terjemahan ( subtitle )-nya yang belum juga keluar. kemudian setelah teks terjemahannya : “hasan dibunuh ! … hasan dibunuh ! … hasan bunuh ! …” muncul dan terbaca penonton, barulah cekikikan agak mereda dan komentarpun mulai ramai terdengar : “oalaah, ceritanya hasan dibunuh toh ? kirain orang tadi neriakin kutil-nya hasan ?”. disitu barulah aku mengerti mengapa tadi mereka pada ber-cekikikan ria, rupanya kata “qutildi film itu difahami sebagai “kutil”-nya mereka. kalau memang benar-benar kutilen, bawa saja ke rshs ( rumah sakit hasan sadikin ) bandung untuk dioperasi bareng manusia akar dan manusia kutil yang satunya lagi ! amit-amit jabang bebe ! na’ūdzu bi-‘llāhi min dzālik ! 

 

(12)   antara  sang  ustadz  muda,  abdullah  dan    abdillah.   

 

         setelah tiap-tiap murid menerima hasil ulangan tarikh islam mereka, abdillah, seorang murid yang terkenal kritis mengangkat tangannya dan bertanya : “ustadz, mengapa jawaban saya pada pertanyaan isian nomor 5 disalahkan, sedangkan jawaban si abdullah dibenarkan, padahal jawaban kami sama ?.

 

          pertanyaan nomor 5 berbunyi begini : nama paman nabi yang mengasuh beliau sepeninggal sang kakek adalah ………… . abdullah mengisi dengan jawaban abu tholib dan dibenarkan, sedangkan abdillah mengisi dengan jawaban abi tholib tetapi disalahkan. sang guru muda yang belum genap sebulan mengajar di kelas 1 mts ( madrasah tsanawiyah ) ini, sedikit bingung memecahkan kasus “rumit” ini. menurut dia, nama abu tholib dan abi tholib itu beda, buktinya di kelas yang diajarnya itu …. nama abdullah itu kan juga berbeda dan tidak sama dengan nama abdillah. ma’qūl  wa  shohīh,    ustādz !

 

         ketika kisah ini diceritakan di ruang guru, seorang guru senior menyodorkan secarik kertas berisi sebaris kalimat berbahasa arab berikut : “qul li-abdillāh, yā abdallāh a-anta haqqon abdullāh ? wa qul li-abī thōlib, yā abā thōlib a-anta haqqon abū thōlib ?”. aduh … mumeeeet dan pusing deh aku ! kita tidak tahu apakah guru muda kita ini mengerti penjelasan guru seniornya tadi atau jangan-jangan malah beliau sudah memberi tambahan nilai bagi si abdillah. syukur deh … kalo gitu !




Ingat Waktu !

Demi Masa

Kategori

Blog Stats

  • 6.185 hits
Maret 2009
S S R K J S M
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
3031