14
Jun
09

Senyum dari Madrasah

(13)   Ada   “ setan ” dari   “ karet “ di  …  roda ?

“Daripada ngapalinmahfūzhōt mendingan juga ngumpulin mahfazhōt”, omel si Salim dalam hati selepas mengumpulkan hasil ulangan tertulis “mahfūzhōt”-nya di meja guru. Dari dahulu, dia memang sangat tidak suka dengan semua pelajaran yang berbentuk hafalan, makanya iapun langsung melampiaskan kekesalannya tentang ulangan hari ini lewat omelan tadi.

Pada kesempatan pelajaran “mahfūzhōt berikutnya, ia dipanggil guru ke depan kelas dan mendapat marah. Apa pasal ? Selain nilainya “jeblok” iapun dimarahi karena menuliskan “omelan” kesalnya di lembar jawaban ulangannya itu. Disamping itu sang guru juga merasa dilecehkan karena jawaban-jawaban yang dibuat Salim sudah termasuk kategori “mempermainkan” pelajaran sekaligus guru yang mengajarnya. “Salah satu contohnya adalah : soal isian nomor 7 yang berbunyiAl-‘ajalatu min al-……. “. Jawaban yang benar seharusnya adalah “mina ‘s-syaithōn”, tetapi kamu mengisinya dengan jawaban “mina ‘l-maththōt”, jadi apa maksudmu dengan semua ini, Salim ?!”, hardik sang guru dengan agak marah.

Dengan entengnya si Salim menjawab begini : “Pak, apa yang salah dengan jawaban “al-‘ajalatu mina ‘l-maththōt” ( roda / ban itu terbuat dari karet ), roda / ban memang terbuat dari karet kan pak ?”. “Iya, betul, tetapi al-‘ajalatudisini artinya adalah terburu-buru, bukannya roda atau ban, Salim !, dan arti lengkap pribahasa itu adalah :Terburu-buru adalah salah satu sifat setan”. Lalu apa pula hubungannya antara mahfūzhōt dengan mahfazhōt ?”. Salim sebenarnya sudah tidak mau menjawab lagi, tetapi karena takut iapun menjawabnya juga : “Kan menghafalkan mahfūzhōt itu bikin otak kita jadi pusing … pak, lebih baik mengumpulkan mahfazhōt ( dompet ) sajalah !”. Tapi ngomong-ngomong ngumpulin dompet itu maksudnya apa ya ?  Koleksi dompet atau Korek isi dompet orang ya ? Au .. ah, gelap !  


(14)   Pelajaran “ at-tash-rīf ” yang  serasa  …  cokelat.

Masih ingat atau pernah dengar tentang pelajaran “at-tash-rīf yang diajarkan di madrasah-madrasah model lama ?. Itu lho, ( di kita hanya terbatas pada ) pembahasan mengenai pengubahan fi’l ( kata kerja ) sesuai dengan subjeknya yang berupa dhomīr/dhomā-ir ( kata ganti seperti huwa s/d nahnu ). Sebuah pelajaran yang amat membosankan dan tidak pernah di-link and match-kan dengan pelajaran-pelajaran bahasa arab lainnya.

Tapi aku malah seneng lho belajar tash-rīf, karena romantis !”, kata Hadi suatu kali pada teman sekelasnya, Komar. “Romantis dari Hongkong ?”, tukas lawan bicaranya. “Eeh … nggak percayaan ya kalo dibilangin, ini contohnya : Fi’l mādhi  “kataba” ( menulis ) kalo di-tash-rīf-in kan begini : huwa kataba, humā katabā, hum katabū, hiya ke tebet … “.  “Stop … stop ! Ngaco aja kamu. Mana ada bahasa arab hiya ke tebet, yang ada juga hiya katabat. Tunggu … aku ingat sekarang, pasti hiya ( dia ) disitu maksud kamu adalah si Nurul ya, yang sering main ke Tebet, ke rumah uwa’nya yang tetanggaan dengan rumahmu, iya … kan ?, dasar playboy !”. “Itulah romantisnya belajar tash-rīf. Ngiri … ya kamu ?. Memang agak aneh juga ya, tetapi begitulah. Malah menurut Gombloh yang penyanyi sekaligus pengarang lagu itu : “Bila cinta sudah melekat, pelajaran tash-rīf-pun serasa cokelat”.

(15)   Tak  boleh  ada  dusta dalam  pelajaran “ at-tash-rīf ”.

Lain lagi ceritanya dengan Halimah ( namanya seperti jenis virus ya : H5h ). Siswi gembul yang senang nongkrong di kantin ini paling tidak suka dengan pelajaran tash-rīf ( juga pelajaran-pelajaran yang lainnya ) kecuali seni suara dan pkk yang ada praktek masaknya.      

Suatu hari saat pelajaran tash-rīf berlangsung, tokoh kita ini mendapat giliran untuk men-tash-rīf-kan sebuah fi’l mādhi yang boleh ia pilih sendiri fi’l-nya. Maka pilihannyapun jatuh pada “akala” ( makan ) sebagai fi’l favoritnya. Lalu diapun mulai melantunkan senandungnya dengan lantang : Huwa akala, humā akalā, hum akalū, hiya akalat, humā akalatā, hunna akalna … dst. Tetapi ketika sampai pada bagian sebelum akhir yaitu pada dhomir “anā”, ia berhenti, terdiam dan diam terus. Sang gurupun lantas bertanya mengapa ia berhenti, dan dengan entengnya teman kita ini menjawab : “Pak, berbohong itu kan dosa ya ?, dan aku paling tidak suka berbohong”. “Iya benar, lalu apa hubungannya dengan tash-rīf-mu ini ?, sang guru balik bertanya. “Pak, anā akaltu itu artinya kan : aku (sudah) makan, lalu kalau aku ucapkan kalimat tersebut …  itu sama saja aku berbohong. Sungguh mati pak, dari pagi aku belum makan kecuali cuma sarapan nasi uduk doang !”. Seisi kelaspun riuh dengan gelak dan tawa, kecuali kawan kita ini. Ia mendapat hukuman dengan harus menulis kalimat “Akal-tu ‘s-samakata hattā ro’sihā” ( Aku makan ikan itu sampai bagian kepalanya ) sepapan tulis penuh. Yā bint, dzambak ‘alā bathnak eh … ‘alā gambak ba-ā. But it doesn’t matter …, you’re so amazing, gal !


(16)   “ Fi’l ” terpendek  di  dunia ini  bisa  masuk  MURI  ‘nggak  ya ?

Dua siswa terbaik dari kelas 3 sebuah ponpes yang mulai “modern” ( karena siswa-siswinya diwajibkan berkomunikasi harian hanya dengan bahasa arab dan inggris tok ) terlibat dalam pertarungan dwi bahasa berbentuk tebak-tebakan iseng tak bertajuk. Kadir yang mengaku sebagai Cat Steven ( Yusuf Islam ) dari Bangkalan mewakili zona English, sedang Zulham yang mengaku sebagai ‘Amr Diyab dari Solok mewakili zona Arabic.

Berdasarkan suwitan ( undian jari ), Kadir yang memulai terlebih dahulu. “Cak ham-Zulham, coba cari sebuah kata dalam bahasa inggris, yang antara huruf pertama dan huruf terakhirnya ada … 1 mil !. Hayo, maté sampeyan !” tantang si Kadir dengan logat “British”-nya yang medok. “Mana ada kata yang lebih dari 1 mil, paning bana ambo ni”, fikir si Zulham dalam hati. Beberapa menit berlalu tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Dan bersamaan dengan mulai menetesnya keringat dingin serta berakhirnya hitungan kedelapan, Zulham-pun melempar handuk putihnya tanda menyerah. “Jawabannya adalah ……. sMILe. Coba cermati, bukankah antara huruf pertamanya (s)  dan huruf terakhirnya (e) ada … 1 (mil), tak iye ?”, ujar Kadir penuh bangga. Zulham-pun manggut-manggut puas, dan tanpa sungkan iapun mengangkat tangan kanan Kadir tinggi-tinggi dengan penuh sportivitas.

Kini giliran Zulham berlaga. “Ayo uda Kadir, tunjukkan sebuah fi’l ( verb/kata kerja ) yang paling pendek dari bahasa asing apa saja !”. Tak sampai satu menit, Kadir-pun menjawabnya dalam dua bahasa sekaligus dengan keyakinan penuh :Go ( pergilah ) dan qif ( berhentilah )”. “Keduanya masih salah uda, karena go dan qif itu kan masing-masing terdiri dari dua huruf. Masih ada yang lebih pendek lagi kok !”, ujar Zulham. Malu tak malu dan mau tak mau karena tidak juga menemukan jawabannya, akhirnya Kadir-pun memukul matras tiga kali sebagai tanda menyerah. “Jawabannya adalah qi ( lindungilah ) dan ro ( lihatlah ). Bukankah masing-masing fi’l itu hanya terdiri dari satu huruf yaitu (qōf) dan (rō’) !”, tandas Zulham penuh kemenangan. “Masa lupa sich, kan tiap hari selalu kita baca dalam do’a sapu jagat ini :  …. wa qi-nā ‘adzāba ‘n-nār !. Qi adalah fi’l amr dari fi’l tsulātsī mujarrod “waqō” dari kelompok lafīf mafrūq atau multawī, sedangkan ro dari fi’l “ro-ā” yang berasal dari spesies mahmūzh ‘ain/nāqish lām. Sudah ah … capek !” Zulham menambahkan. Wow … mumtāz !, jangan-jangan Zulham ini pernah di Thowalib dan jadi calon penerusnya buya Mahmud Yunus atau buya Hamka nih !?.

(17)   “Pandangan”  pertama  …  saat  kita  berjumpa  !.

Lima orang santri-wan remaja yang sedang asyik menikmati libur akhir tahun mereka di kampung, entah bagaimana mulanya tiba-tiba saja sudah terlibat dalam sebuah obrolan serius tentang masalah cinta.

“Kalian masih pada ingat ‘nggak dengan ungkapan bahasa arab ini : Nazhrotun, fa-‘btisāmatun, fa-salāmun, fa-kalāmun, fa-mau’idun, fa-liqō-un … ( saling pandang, lalu saling tersenyum, lalu saling tegur sapa, lalu ngobrol, lalu bikin janji, lalu ketemuan … ) ?, katanya merupakan proses awal bagaimana dua orang sampai bisa jatuh cinta, tapi aku kok nggak sepenuhnya setuju”, kata Asep, sang tuan rumah. “Kenapa ? kan memang begitu adanya. Coba dengar pantun ini : Dari mana datangnya lintah … dari sawah turun ke kali, dari mana datangnya cinta … dari mata turun ke hati”, timpal si Baim. “Itu dia. Lagi-lagi dimulai dari mata. Lalu bagaimana dengan saudara-saudara kita yang tuna netra ?, sanggah Asep agak trenyuh sehingga yang lainnya jadi ikut terdiam.

“Ok. Kita tinggalkan dulu soal tuna netra ini. Aku mau nambahin ungkapan Asep tadi dengan yang lagi nge-trend akhir-akhir ini, yaitu … fa-‘ttifāqun, fa-khithbatun, fa-zawājun, fa-haflatun, fa-syahru ‘asalin, fa-‘khtilāfun, fa-‘ftirōqun, fa-tahākumun, fa-tholāqun … ( lalu saling cocok, lalu lamaran, lalu menikah, lalu pesta, lalu berbulan madu, lalu bertengkar seru, lalu pisah-rumah, lalu ke pengadilan, lalu … cerai ) iya kan ? kaya para seleb di negeri ini”, kata Jamil sok kritis. Ketika diskusi mereka semakin seru, tiba-tiba seorang pengemis buta muncul dan langsung lenyap setelah menerima shodaqoh. “Itu lihat pengemis buta tadi, meski tidak mempunyai nazhroh ( daya lihat ), tetapi kan masih memiliki bashīroh ( mata hati ), jadi dia masih bisa berkegiatan normal seperti yang lainnya”, si Jamil kembali nyeletuk. “Tetapi yang masih aku ‘nggak mengerti adalah bagimana proses jatuh cintanya mereka ?” kejar si Asep masih penasaran. “Gini … Asep nu kasep, tolong disimak baik-baik ya kata-kata bijak ini : Al-lisānu yanfudzu mā lā tanfudzu-hu ‘l-ibrotu ( lidah/kata-kata itu mampu menembus sesuatu yang tak sanggup ditembus oleh tajamnya jarum, yaitu hati ), artinya senjata para tuna netra itu adalah kata-kata, plus perasaan plus penciuman, faham ?. Tapi ngomong-ngomong kenapa sih Sep, manéh téh ( kamu ini ) peduli amat pada problema kaum tuna netra, jangan-jangan aya naon-naon na yeuh ( ada apa-apanya nih )… ?”, sela Ikin Sodikin penuh curiga. Sang pemikir yang sedari tadi hanya diam saja ini akhirnya ikut buka suara juga.

“Masa kalian pada lupa sih, waktu di kereta tempo hari … si Asep kan beberapa kali mencoba menegur seorang cewek manis – yang duduk di seberang kiri deret kursi kita – dengan cara mengerdipkan mata, tetapi si ‘cah ayu itu kok hanya meneng ae ( diam seribu basa saja ) sehingga membuat Asep semakin penasaran. Ironisnya kita baru tahu kalau ternyata si gadis itu buta ketika ia turun di stasiun Balapan, Solo. Ingat nggak ?” jelas si Iwan membuka rahasia. Oooh … pantas saja !. Rupanya pemeo Love is blind ( Cinta itu buta ) itu memang benar-benar ada ya, dan buta ( raksasa )-nya telah memangsa si Asep yang kemudian terkena sindrom Falling in love at first sight ( Jatuh cinta pada “pandangan” pertama ) lalu hatinya terseret dan terdampar sesat di stasiun Balapan ?. Jadi nasibnya sama dong dengan mas Didi “Cucak Rowo” Kempot yang juga punya kisah sedih di stasiun  yang sama ?!. Aduh … kasihan dech … lu !


0 Tanggapan to “Senyum dari Madrasah”



  1. Tinggalkan sebuah Komentar

Tinggalkan komentar


Ingat Waktu !

Demi Masa

Kategori

Blog Stats

  • 6.183 hits
Juni 2009
S S R K J S M
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930